Sabtu, 06 Agustus 2011

Menghindari Mudharat dalam Niat Kebaikan

Sering kali kita menemui teman atau kerabat yang berniat tulus ikhlas dan penuh ghirah (semangat) untuk mempelajari dan mempraktikan islam secara murni dan konsekuen. Fenomena belakangan hal ini terjadi pada saudara kita pada strata pendidikan menengah dan tinggi dan pembelajaran tersebut dimulai sejak mereka di bangku kuliah atau bahkan setelah bekerja.
Pengalaman praktik fikih di masa lalunya berdasar pengetahuan pengajian di kampung halamannya atau bahkan hanya ber-taklid di masa lalunya, membuat mereka terhenyak karena sedikit berlainan dengan apa yang mereka pahami dari pengajiannya sekarang ini atau bahkan dari pengetahuan keislaman dari buku-buku atau kitab-kitab yang populer dipelajari oleh banyak kalangan santri baru ini.
Dengan tidak bermaksud su'uzhon, terkadang dengan kepedean akan kemampuan analitis dan strata pendidikan sekarang yang di atas rata-rata (meski bukan dalam bidang keilmuan keislaman) banyak dari mereka (karena ghirah tadi) secara konsekuen mempraktikan kesimpulan fikihnya itu dan bersemangat untuk "mendakwahkan" nya kepada rekan dan kerabatnya. Tentunya hal ini bukan hal yang salah bahkan memang sudah seharusnya. Hal ini akan menjadi masalah jika terdapat kesan: 1) menafikan/menyalahkan praktik fikih yang "mainstream" yang sebenarnya sudah mapan secara metodologis tarjih para ulama, jikapun terdapat perbedaan praktik hal ini sudah diakui secara umum sebagai sesuatu yang furu' karena perbedaan metode tarjih tadi (bukan masalah kuat-tidaknya dalil), kemudian 2) terdapat kesan menafikkan keberadaan dan kualitas para ulama dalam organisasi yang sudah mapan. dan 3) etika dalam "berdakwah" tadi khususnya jika sudah menyangkut masalah furu' dalam fikih, yang terkesan "main vonis" benar-salah, tanpa "permisi" dengan prolog kalimat "dengan tetap menghormati pendapat fikih yang lain".
Hal ini penulis khawatirkan, bukannya hikmah dan kesatuan umat yang tercipta, tetapi akan menimbulkan: 1) sikap kemunafikan bagi orang yang berbeda pendapat dalam fikih tsb namun dia berdiam diri sekedar menghormati rekan sejawat yang "menjadi tokoh santri" di kantor atau komunitasnya 2) sikap antipati kepada "si tokoh santri baru" ini dan menjadi stigma negatif kepada mereka yang memiliki ghirah dalam mempelajari islam. Padahal, ghirah ini tetap harus lestari dan terjaga sampai akhir zaman.
Dalam kerangka inilah memang, haruns disadari banyak kalangan yang memiliki ghirah ini, tidak hanya interest pada kitab-kitab sumber primer, namun paling tidak sedikit bekal "ilmu alat" (istilah santri) juga seyogyanya turut dipelajari, apalagi jika kita sendiri memang tidak berangkat dari latar belakang akademis bidang ini.

Tidak usah kita jauh-jauh menguasai bahasa arab (nahwu dan sharaf), ajaran islam memang bukan teka-teki yang hanya segelintir orang saja yang memiliki otoritas memahaminya., semua umat dapat mempelajarinya tentunya dengan berpegang pada kaidah-kaidah yang sudah diletakan para ulama dalam memahaminya supaya terhindar dari hal-hal negatif yang dikemukakan di atas.

Paling tidak menurut penulis, tips-tips dalam mengaktualisasikan ghirah tadi adalah juga kita seyogyanya:
1) memahami sejarah hukum islam yang akan meletakan metode penetapan hukum islam (tarikh-tarjih)
2) memahami dan berpegang pada satu metode tarjih (istimbath hukum) dari beberapa metode tarjih yang disepakati secara jumhur (termasuk didalamnya ada kaidah ushul-fikih, dsb) yang menurut penilaian kita sebagai metode yang paling "pas".
3) menyandingkan kitab-kitab sumber kita dengan fatwa-fatwa ulama yang sudah mapan dari organisasi-organisasi atau lembaga keislaman.

Dengan berpegang pada setidaknya 3 hal di atas, mudah-mudahan ghirah kita dalam mempelajari dan mempraktikkan seraya mendakwahkannya akan menjadi hikmah dan memperkaya khazanah keilmuan serta bermanfaat bagi umat dan agama islam tentunya, Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar