Rabu, 25 Juli 2012

FIQIH KEMUDAHAN dalam IBADAH RAMADHAN

Mohon maaf sebelumnya kepada author tulisan ini, karena tanpa izin melakukan copas dan sedikit suntingan atas tulisan bertajuk di atas. Insya Allah, semua ini berangkat dari nawaitu yang lurus untuk saling berbagi ilmu, saling memberi nasihat dan saling memperkaya khasanah keilmuan kita.

Editing hanya dilakukan terhadap beberapa point yang berdasarkan pertimbangan pribadi dipandang sudah dimafhumi banyak pihak sehingga sengaja di skip supaya tulisannya tidak terlalu panjang.

Kepada pembaca yang budiman yang ingin membaca langsung dari sumbernya, silakan mengunjungi laman "pustaka langit biru" yang juga tulisannya ini diambil dari sumber:
 “Ringkasan Hukum Ibadah Puasa”, karya Ustadz Abu Al Jauza’ (atau Abdul Rahman), dimuat di MyQuran pada 25 Sya’ban 1429 H (28 Agustus 2008).


Jadi ringkasannya kurang lebihnya sbb:



     Salah satu prinsip yang perlu dipahami ketika kita bicara tentang IBADAH, adalah prinsip kemudahan (al ushulut taisir). Allah Ta’ala tidak zhalim dalam menetapkan kewajiban ibadah kepada manusia. Dia menetapkan kewajiban ibadah selaras dengan kesanggupan hamba-Nya. Pada dasarnya, ibadah itu bukan untuk Allah, sebab Dia Maha Kaya. Ibadah adalah demi kebaikan manusia sendiri. Dalam Al Qur’an: “Dan siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka hal itu lebih baik bagi dirinya (sendiri).” (Al Baqarah: 184).
Tentang prinsip KEMUDAHAN ini dalilnya disebutkan dalam Al Qur’an: “Allah menginginkan kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagi kalian.” (Al Baqarah: 185). Menariknya, ayat ini latar-belakangnya berbicara tentang ibadah Puasa di bulan Ramadhan.

Singkat kata, ibadah di bulan Ramadhan seharusnya penuh dengan kemudahan-kemudahan, bukan kesulitan-kesulitan. Sayangnya, selama ini FIQIH TAISIR (kemudahan) dalam ibadah Ramadhan kurang dipahami oleh masyarakat. Mereka beribadah dengan mengikuti tradisi, lalu secara fanatik bertahan dengan tradisi tersebut. Alangkah baik jika Ummat ini memahami Kemurahan Allah Ta’ala yang telah melapangkan Syariat-Nya.


Berikut ini kemudahan-kemudahan Syariat Islam dalam ibadah Ramadhan. Silakan disimak baik-baik. Semoga bermanfaat bagi Anda, saya, keluarga kami, dan kaum Muslimin seluruhnya. Allahumma amin.

[1] Ibadah Shaum Ramadhan dimulai dengan niat. Seseorang yang menjalankan shaum tanpa niat terlebih dulu di malam harinya, puasanya tidak sah. “Siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, tidak ada puasa baginya.” (HR. An Nasa’i, Baihaqi, Ibnu Hazm). Dan niat ini adalah kehendak di hati untuk menyengaja melakukan suatu ibadah. Disini tidak perlu melafadzkan kalimat “nawaitu shauma ghadin”, sebab Nabi tidak mencontohkan hal itu. Ketentuan niat ini maksudnya untuk membedakan dengan shaum sunnah. Nabi Saw pernah berniat puasa di siang hari ketika beliau belum makan-minum, dan di rumahnya tidak didapati makanan. (HR. Muslim). Dalam Shaum Ramadhan tidak boleh niat pada siang hari, tetapi harus sejak malam hari sebelum fajar. Namun perlu dicatat, seseorang yang sejak awal telah berniat menyelesaikan shaum Ramadhan sebulan penuh, sebenarnya dia telah berniat puasa setiap malamnya. Allah Maha Tahu niat di hati-hati kita.

[2] Orang-orang yang lemah, atau sedang berada dalam kesulitan, boleh meninggalkan shaum. Bagi orang lanjut usia (manula), yang menderita sakit menahun, ibu-ibu hamil atau menyusui, mereka boleh meninggalkan shaum secara mutlak. Kompensasinya, mereka membayar fidyah (memberi makan orang miskin) sejumlah hari-hari ketika mereka tidak berpuasa. Jika sebulan penuh tidak puasa, maka sebulan pula mereka memberi makan orang miskin. (Ketentuannya: Satu hari tidak puasa, pada hari itu seseorang memberi makan satu orang miskin senilai makanan sehari yang biasa dia makan. Boleh memberi makanan matang, atau bahan makanan mentah. Kalau bahan mentah, sebaiknya dihitung untuk beberapa hari sekaligus, agar tidak merepotkan yang diberi makan). Bagi yang sakit temporer, sedang dalam safar, sedang bekerja menguras tenaga, sedang berjuang membela agama, atau kondisi semisal itu, mereka boleh tidak puasa. Tetapi kompensasinya, mereka harus mengganti puasa yang dia tinggalkan, dikerjakan pada hari-hari lain di luar Ramadhan. Itulahshaum qadha’. (Shaum qadha’ ini puasa wajib, maka niatnya juga sejak malam hari, bukan “terpaksa” setelah siang hari). Dalil tentang masalah ini adalah Surat Al Baqarah ayat 184. (Pen. di sini tidak ada rujukan khusus yang menyatakan "penggantian dobel" ya bayar fidyah plus meng-qada puasa; jadi cukup fidyah saja)

[3] Musafir yang berada dalam perjalanan (safar), boleh meninggalkan shaum dan boleh juga tetap mengerjakannya. Nabi Saw pernah melakukan kedua cara itu. Tinggal dilihat urusan yang sedang dihadapi. Jika perjalanan itu ringan dan tidak memberatkan, silakan teruskan puasa sampai Maghrib. Jika perjalanan itu berat atau dalam rangka Jihad Fi Sabilillah, lebih utama tidak puasa. Saat penaklukan Makkah, Nabi Saw pernah membatalkan puasa ketika perjalanan, saat beliau dan para Shahabat sampai di Kura’ Al Ghamim (HR. Muslim). Hamzah bin Amru Al Aslami Ra. pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku mendapati diriku mampu berpuasa dalam safar. Apakah aku berdosa?” Nabi menjawab, “Ia adalah keringanan dari Allah. Siapa yang mengambil keringanan itu (tidak puasa), itu baik. Dan siapa yang suka berpuasa, dia tidak berdosa.” (HR. Muslim).

[4] Boleh melakukan perbuatan-perbuatan mubah di siang hari Ramadhan, yang dimaksudkan untuk menuntaskan puasa sampai Maghrib. Misalnya, tidur di luar waktu-waktu shalat, melakukan permainan-permainan untuk melupakan diri dari rasa lapar, jalan-jalan sambil menanti datangnya adzan Maghrib, dll. Syaratnya, semua perbuatan-perbuatan itu bukan yang diharamkan. Namun jika waktu-waktu tersebut bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat, tentu lebih baik. Pada dasarnya Allah Ta’ala itu Syakirun ‘Alim (Maha Mensyukuri amal-amal hamba-Nya dan Maha Mengetahui).

[5] Wanita yang sedang masak di dapur, dia boleh mencicipi makanan yang dimasaknya, sekedar untuk mengetahui apakah rasa makanan itu sudah cocok atau belum. Hal ini bukan termasuk definisi makan (akala) sebagaimana yang dilarang dilakukan orang-orang yang sedang berpuasa. Melakukan test rasa bukanlah makan-minum yang membatalkan puasa. Dalil penguatnya adalah atsar dari Ibnu Abbas Ra., “Tidak masalah seseorang mencicipi cuka atau sesuatu yang lain, selama ia tidak masuk ke kerongkongannya, sedangkan dia sedang shaum.” (HR. Bukhari dalam Fathul Bari’).

[6] Boleh berkumur-kumur ketika sedang shaum. Kumur-kumur bisa dilakukan saat wudhu atau di luar wudhu. Berkumur-kumur ini ditujukan untuk membuang bau busuk di mulut, untuk membuang rasa pahit di mulut, atau agar mulut terasa lebih segar. Dalilnya, kumur-kumur bukan termasuk definisi minum (syariba) sebagaimana yang membatalkan puasa. Dalam hadits diceritakan, Umar bin Khattab Ra. saat berpuasa menciumi isterinya, lalu dia bertanya ke Nabi Saw, apakah perbuatan seperti itu boleh? Nabi Saw menjawab: “Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dengan air, sementara engkau sedang shaum?” Umar menjawab: “Tidak masalah.” Lalu Nabi berkata lagi: “Lalu mengapa masih ditanyakan juga.” (HR. Ahmad dan Baihaqi). Namun harus berhati-hati saat kumur-kumur agar air tidak tertelan ke perut. Sebagian ulama menyebut kumur-kumur dan memasukkan air ke hidung saat wudhu sebagai perbuatan makruh (tidak disukai). Kumur-kumur ini dilakukan seperlunya saja, kalau memang membutuhkan. Saya sarankan, kalau Anda selesai kumur-kumur, cobalah membuang sisa-sisa air yang masih di mulut. Tetapi lakukan hal itu biasa-biasa saja, jangan berlebihan. Sejauh di hati kita tidak ada niat untuk memasukkan tetes-tetes air ke dalam perut, Allah Maha Tahu apa yang kita niatkan.

[7] Selama berpuasa, kita boleh bersiwak. Bersiwak caranya dengan menggosokkan kayu siwak ke gigi, baik untuk membersihkan gigi atau mengusir bau busuk di mulut. Dalilnya, Nabi Saw pernah bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan Ummat-ku, tentu akan aku perintahkan mereka bersiwak di setiap shalat.” (HR. Bukhari-Muslim). Yang dimaksud shalat disana tentu mencakup shalat di setiap waktu, termasuk dalam bulan Ramadhan. Dalam praktik modern, bersiwak diganti dengan gosok gigi memakai pasta gigi. Kayu siwak bukanlah barang yang mudah didapat di negari kita. Gosok gigi boleh dilakukan selama sedang shaum; baik ditujukan untuk membersihkan gigi, menghilangkan bau busuk di mulut, atau melakukan terapi pengobatan. Dalam gosok gigi ini kita memakai pasta gigi. Pasta gigi rata-rata berasa manis dan mengandung mint. Alangkah baik kalau dalam puasa, mulut kita berpuasa juga dari aneka rasa (kecuali ibu-ibu yang mencicipi rasa makanan saat memasak). Disarankan, kalau Anda gosok gigi, cukuplah Anda mengambil sedikit pasta gigi, jangan berlebihan. Setelah gosok gigi, cobalah berkumur-kumur yang bersih, sehingga sisa-sisa “deterjen” di mulut jadi bersih. (He he he… Maaf, jadi menyisipkan “kritik produk” disini). Jika gosok gigi bisa dilakukan saat berbuka (saat halal makan-minum), itu lebih baik. Jika gosok gigi di siang hari, sebaiknya dilakukan sekali saja, misalnya ketika Zhuhur.

[8] Menelan ludah di mulut saat berpuasa adalah mubah (boleh). Dalilnya, menelan ludah bukanlah definisi minum seperti yang membatalkan puasa. Minum adalah memasukkan minuman dari luar, dimasukkan ke perut melalui mulut, untuk menghilangkan kehausan. Dalam Al Qur’an dan Sunnah tidak ada dalil yang melarang orang shaum menelan ludah di mulutnya sendiri. Bahkan, perbuatan terus meludah karena ingin menghindari agar ludah tidak masuk ke kerongkongan, hal itu tidak ada contohnya dari Nabi Saw.

[9] Berendam di kolam atau sering mandi saat siang hari Ramadhan, untuk melawan hawa panas, rasa gerah, atau untuk menimbulkan kesegaran tubuh, hal itu termasuk perkara mubah (boleh). Hanya saja, harus hati-hati, jangan sampai air masuk ke mulut, lalu tertelan ke perut. Dalilnya, berendam di air bukan termasuk perkara-perkara yang membatalkan puasa.

[10] Seseorang yang lupa makan-minum saat siang hari Ramadhan, puasanya tetap sah

[11] Sangat dianjurkan mengakhirkan makan sahur

[12] Sangat dianjurkan menyegerakan berbuka puasa (ifthar), jika waktunya telah tiba

[13] Ketentuan IMSAK sebelum Shubuh bukan kewajiban. Anda tidak perlu secara ketat menuruti ketentuan Imsak. Nabi Saw pernah ditanya, jarak antara waktu sahur dan shalat Shubuh berapa lama? Beliau menjawab, “Sekitar bacaan 50 ayat.” (HR. Bukhari-Muslim). Bacaan 50 ayat itu sekitar 10 atau 15 menit. Tetapi ketentuan ini bukan bersifat wajib, hanya anjuran saja. Nabi menyebutkan hal itu agar kita berjaga-jaga sebelum Shubuh tiba. Maka sikap masyarakat kita yang berlebihan dalam menuruti ketentuan IMSAK adalah perbuatan yang salah. Di jaman Nabi tidak ada contoh perbuatan seperti itu.

[14] Jika terlambat bangun untuk sahur, lalu adzan Shubuh terdengar, maka hendaklah seseorang menyempurnakan sahurnya. Seharusnya, sebelum masuk waktu Shubuh, kita sudah berhenti dari urusan makan-minum. Idealnya demikian. Tetapi kadang kita terlambat bangun, misalnya bangun ketika 15 menit sebelum adzan Shubuh. Ketika itu kita harus buru-buru melaksanakan sahur. Jika saat sedang sahur, lalu terdengar adzan Shubuh, maka jangan dihentikan sahur itu, atau dimuntahkan makanan yang ada di mulut. Tetapi teruskan sahur sampai tuntas, meskipun sudah adzan Shubuh. Tidak menghabiskan makanan atau memuntahkan makanan di mulut, bukanlah akhlak Islami. Nabi Saw. pernah bersabda, “Jika salah satu kalian mendengar adzan Shubuh, sedangkan bejana (minuman) masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejana itu, sampai dia menyelesaikan hajatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud). Dalam hadits lain disebutkan: “Pernah iqamat dikumandangkan ketika di tangan Umar (Ra) masih ada bejana berisi air. Lalu dia bertanya kepada Nabi: “Apakah boleh kuminum ya Rasulullah?” Maka beliau menjawab: “Ya!” Maka air itu pun diminumnya.” (HR. Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Al Albani). Namun tidak berarti, Anda harus makan-minum sepuas-puasnya, seperti saat sahur dalam kondisi normal. Anda diberi toleransi untuk menyelesaikan hidangan yang ada di depan Anda. Jangan ditambah-tambah dengan aneka makanan-munuman lain. Oleh karena itu, sebelum menjalani sahur yang terburu-buru itu, siapkan hidangan secukupnya saja.

[15] Jika terlambat bangun, sampai keadaan telah terang-benderang, sehingga seseorang tidak sempat menjalankan sahur; maka dia tetap harus berpuasa. 

[16] Ibadah Shalat Tarawih di malam Ramadhan adalah ibadah yang penuh pahala dan kebaikan, tetapi hukumnya sunnah. Shalat Tarawih itu shalat sunnah, sama seperti shalat malam pada umumnya. Nabi Saw pernah mengerjakan shalat Tarawih di masjid 3 hari berturut-turut, setelah itu beliau tidak datang lagi ke masjid untuk Tarawih. Nabi melakukan hal itu karena khawatir jika shalat malam diwajibkan atas Ummat Islam, lalu memberatkan mereka. (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa hokum Shalat Tarawih (atau shalat malam pada umumnya) adalah sunnah. Mengerjakan shalat malam selama Ramadhan di rumah, sendirian atau berjamaah bersama keluarga, itu BOLEH. Jumlah rakaat shalat malam yang kita tunaikan sesuai kesanggupan. Tidak harus dipatok 11 rakaat (bagi yang meyakininya), atau 23 rakaat (bagi yang meyakininya). Minimal, 3 rakaat shalat witir. Dalam setiap rakaat tidak dipatok harus membaca surat ini atau itu, membaca ayat sekian atau sekian. Ya, sesanggup kita saja. Setiap rakaat membaca Surat Al Ikhlas terus, juga tidak masalah, jika memang bisanya baru sebatas itu.

[17] Shalat Tarawih bersifat santai, tidak terburu-buru, tidak memaksakan diri. Hal itu sesuai dengan nama Tarawih sendiri yang artinya istirahat-istirahat. Dalam shalat ini mestinya diselingi dengan istirahat (waktu jeda). Dr. Fauzan Al Fauzan dalam kitab Mulakhas Fiqhi-nya, beliau mengatakan: “Dinamakan Tarawih karena manusia dulunya beristirahat di dalamnya, setiap empat rakaat, karena dulu shalatnya panjang-panjang.” (Kitabus Shalah, hal. 117). Dalam shalat ini hendaklah kita jangan terburu-buru, atau memberat-beratkan diri. Konon, di India Ummat Islam ada yang menghatamkan Al Qur’an dalam semalam. Mereka shalat sejak selesai Isya’ sampai menjelang fajar. Hal-hal demikian ini tampaknya bagus, tetapi tidak benar. Nabi Saw melaksanakan Tarawih di masjid beberapa hari di awal Ramadhan, selebihnya beliau shalat malam di rumah. Hal itu agar tidak memberatkan Ummat-nya. (HR. Bukhari). Nabi Saw juga pernah menegur Muadz bin Jabal Ra, ketika beliau mengimami Shalat Wajib, beliau membaca surat yang panjang-panjang. Hal itu dikhawatirkan akan merepotkan Ummat yang memang sedang memiliki urusan tertentu. Andai kita ingin shalat malam secara intensif, berpanjang-panjang surat, berlama-lama berdiri, lakukan hal itu secara munfarid(sendiri-sendiri). Kalau ibadah berjamaah, diikuti banyak orang, sunnahnya ringan dan toleran.

[18] Laksanakan shalat malam di bulan Ramadhan semampunya. Ramadhan adalah bulan yang penuh amal ibadah, pahala dilipat-gandakan, ampunan dicurahkan, barakah dibentangkan di segala penjuru. Memperbanyak ibadah di bulan ini adalah SANGAT BAIK. Termasuk melaksanakan shalat malam. Tetapi dalam pelaksanaannya, selapang kita saja. Kalau mampu setiap hari Tarawih di masjid secara berjamaah, sejak rakaat pertama sampai terakhir, silakan lakukan. Kalau mampunya, Tarawih sekali-sekali, silakan. Kalau mampunya shalat malam di rumah bersama keluarga, silakan. Kalau mampunya shalat malam di rumah, sendirian, dan hanya 3 rakaat setiap malam, juga silakan. Pendek kata, amal ibadah ini sangat lapang, jangan dibuat sulit atau memberatkan. Lebih baik shalat dengan rakaat sedikit asalkan berkualitas, daripada shalat 23 rakaat atau 40 rakaat setiap malam, tetapi dilakukan terburu-buru atau merasa “penuh siksaan”. Nabi Saw bersabda: “Bersedang-sedanglah kalian, berdekat-dekatlah kalian, gunakanlah waktu pagi dan petang (untuk memohon pertolongan), serta sedikit dari waktu malam. Pertengahan, pertengahan, niscaya kalian akan sampai.” (HR. Bukhari).

[19] Kaum Muslimin harus berhati-hati terhadap amalan yang dibuat-buat setiap malam Ramadhan. Contoh, CERAMAH TARAWIH. Ceramah ini pada mulanya untuk mengisi waktu sebelum Tarawih dengan menuntut ilmu, taushiyah, atau tadzkirah. Tetapi kemudian praktiknya melenceng jauh dari niat semula. Ceramah Tarawih kini telah menjadi “kewajiban baru” setiap malam Ramadhan. Hampir setiap masjid mengadakannya. Kalau tidak mengadakan, seperti merasa berdosa. Untuk ceramah itu dibuatkan jadwal baku selama satu bulanan penuh. Bahkan jadwal itu dilengkapi dengan daftar penceramah badal (pengganti). Ceramah Tarawih ini menjadi rebutan para jamaah masjid. Setiap orang yang bisa ceramah sangat ingin namanya tercantum dalam daftar. Materi ceramah yang semula ilmu atau nasehat, akhirnya melebar kemana-mana. Bahkan yang semula dijadwal 7 menit (kuliah tujuh menit), kerap kali melar sampai 30 menit. Anak-anak sekolah pun diwajibkan mengikuti acara ini dan mencatat materinya. Mereka dibekali buku catatan khusus yang harus ditanda-tangani penceramah dan distempel oleh pengurus masjid. Hebatnya lagi, “kewajiban ceramah” ini juga dapat ditemukan setiap selesai Shalat Shubuh. Semua ini adalah BID’AH yang harus ditinggalkan. Setidaknya, mari kita kembali ke niat semula. Ceramah pada mulanya hanya untuk mengisi waktu saja. Jangan lalu ia dibuat seperti KEWAJIBAN dalam agama. Andai dalam ceramah itu ada kebaikannya, ya dilaksanakan selapangnya saja!

[20] Di malam hari bulan Ramadhan, suami-isteri boleh melakukan hubungan seksual

[21] Ketika suami-isteri mendapati Shubuh dalam keadaan junub, karena malamnya melakukan hubungan seksual, maka puasanya tetap sah. Junub di malam hari tidak membatalkan puasa. Hanya saja, Anda tidak boleh mengerjakan Shalat Shubuh, sebelum mandi wajib terlebih dulu. Dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim, Aisyah dan Ummu Salamah Ra. mengatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah junub pada saat Shubuh, karena melakukan hubungan seksual di malam Ramadhan, bukan karena bermimpi. Kemudian Nabi menjalankan puasa (seperti biasa).

[22] Larangan hubungan seksual di siang hari Ramadhan, tidak mengharamkan suami-isteri saling bercumbu. Bercumbu, selama tidak melakukan kontak hubungan seksual, tidak dilarang. Hanya saja, kalau dikhawatirkan nanti bisa berlanjut ke hubungan seksual, sebaiknya dihindari bercumbu di siang hari. Bercumbu disini misalnya, mencium, memeluk, meraba, memegang, menindih, dll. selama bukan kontak hubungan seksual. Dalam riwayat disebutkan, Aisyah Ra. berkata, “Dia (Rasulullah) pernah bercumbu (dengan Aisyah), padahal beliau sedang shaum. Kemudian beliau mengadakan (tabir kain) antara dirinya dengan Aisyah, maksudnya dengan kemaluan Aisyah.” (HR. Ahmad). Marzuq Ra. pernah bertanya kepada Aisyah Ra., “Apa yang dihalalkan bagi seorang laki-laki terhadap isterinya, ketika dia sedang shaum?” Aisyah menjawab: “Semuanya halal, selain jima’ (bersetubuh).” [Maaf beribu maaf, disini harus disampaikan dengan dengan bahasa agak vulgar!].

[23] Seseorang yang mengalami mimpi (ihtilam) di siang hari Ramadhan, sehingga keluar sperma secara tidak sengaja, puasanya tetap sahKeluar sperma secara tidak sengaja karena mimpi, tidak membatalkan puasa. Namun seseorang yang mengalaminya harus segera mandi besar (mandi janabah), agar bisa mengerjakan Shalat. Namun mengeluarkan sperma secara sengaja melalui onani ataumasturbasi, membatalkan puasa! Alasannya, perbuatan seperti itu memenuhi salah satu sifat jima’ (bersetubuh), yaitu sengaja mengeluarkan sperma. Apalagi puncak dari kenikmatan hubungan seksual bagi laki-laki, adalah keluarnya sperma itu sendiri.

[24] Di malam hari Ramadhan, seorang isteri yang sedang haidh masih bisa diajak bercinta (tetapi bukan Jima; Pen.). Cara demikian terutama bagi suami yang memiliki gairah seksual kuat, atau seseorang sedang sangat menginginkan pemuasan seksual ke isterinya di malam Ramadhan. Syaratnya, jangan sampai melakukan kontak seksual (jima’). Kegiatan seksual bisa dilakukan pada bagian selangkangan. Sebagian ustadz menyarankan melumuri selangkangan isteri dengan lotion (cairan kental yang aman). Pokoknya, jangan masuk ke bagian kemaluan isteri. (Sekali lagi, maaf beribu maaf, dengan terpaksa harus menguraikan masalah ini secara verbal, demi menyampaikan kebaikan, insya Allah). Namun cara demikian dilakukan dengan kerelaan hati isteri. Jangan memaksakan diri, sebab wanita haidh biasanya berada dalam situasi psikologis yang tidak stabil.

[25] Suami-isteri yang terpaksa melakukan hubungan seksual di siang hari Ramadhan, harus membayar kaffarat (penggugur kesalahan).

[26] Bagi yang tetap menjalankan puasa saat dalam safar (perjalanan), maka berlaku hukum-hukum safar baginya. Misalnya, shalat yang 4 rakaat boleh diqashar menjadi 2 rakaat; tidak perlu melakukan shalat sunnah Rawatib; di malam hari cukup mengerjakan Shalat Witir 3 rakaat. Hal demikian ini lebih utama daripada menjalankan ibadah-ibadah tersebut seperti keadaan saat mukim (di kampung halaman sendiri). Kalau mau menyiasatinya, Anda bisa lebih sering ikut shalat berjamaah di masjid. Karena ikut shalat berjamaah, maka Anda akan mengikuti jumlah rakaat seperti imam. Dan setelah shalat wajib itu tidak perlu shalat sunnah lagi, sebab kondisinya sedang safar.

[27] Seseorang yang menderita sakit, namun tetap berpuasa, dia boleh diberi obat untuk penyembuhan penyakitnya. Memasukkan obat ke tubuh tidak boleh melalui mulut atau hidung. Puasa tidak mengharamkan seseorang menjalani terapi pengobatan. Misalnya pemberian injeksi (suntikan), memasukkan obat ke anus untuk mengatasi derita ambein, atau menghirup obat hirup (gas) untuk penderita asma, dll. Selagi yang dimasukkan benar-benar obat, tidak melalui lubang mulut atau hidung, tidak berefek mengenyangkan atau menghilangkan haus; ia boleh dilakukan. Termasuk pemberian obat luar seperti salep, balsam, minyak, dll. juga boleh. Namun jika kondisi sakitnya cukup parah, sebaiknya tidak usah puasa sekalian. Dalil dari perkara ini, adalah keumuman anjuran Nabi Saw agar kita mencari pengobatan, kalau menderita sakit.

[28] Selama puasa, boleh menjalani terapi bekam. Bekam adalah terapi pengobatan dengan mengeluarkan darah kotor dari tubuh. Nabi Saw pernah menjalani hal itu saat beliau Ihram maupun berpuasa. (HR. Bukhari). Selama ini ada kesalahan pemahaman masyarakat kita. Katanya, kalau seseorang terluka, lalu keluar darah, atau gusinya berdarah, atau menangis, atau muntah secara tak sengaja, puasanya batal. Tidak benar semua anggapan ini. Yang disebut “keluar darah” yang membatalkan puasa adalah bagi wanita yang haidh saat berpuasa. Atau seseorang yang mengalami pendarahan berat, lalu keselamatannya terancam, maka dalam keadaan seperti itu dia harus membatalkan puasanya.
(Pen. ada beberapa kitab dari ulama besar yang berlainan kesimpulan mengenai hal berbekam ini, dimana kitab tersebut menyatakan berbekam termasuk hal yang membatalkan puasa.)

[29] Ketika berpuasa seharusnya ditinggalkan perbuatan-perbuatan buruk, seperti berbohong, ghibah, memfitnah, bertengkar, berkelahi, dll

[30] Bagi para muallaf yang belum sanggup menjalankan puasa sebulan penuh, mereka boleh berpuasa secara bertahap. Misalnya, dalam Ramadhan tahun ini dia mampu mengerjakan puasa 10 hari dalam sebulan. Pada Ramadhan tahun berikutnya 15 hari, berikutnya lagi 20 hari, hingga akhirnya dia bisa menuntaskan sebulan penuh. Cara demikian tidak dilarang bagi para muallaf. Dari pengalaman kami selama ini, puasa Ramadhan sebulan penuh bagi muallaf bukanlah amalan yang ringan. Rata-rata mereka tidak pernah menjalani puasa seperti itu. Jika muallaf itu mampu mengganti puasa yang dia tinggalkan di bulan-bulan lain, tentu lebih baik. Jika tidak mampu, boleh mengganti puasa yang dia tinggalkan dengan membayar fidyah. Namun jika dia telah bertahun-tahun menjadi Muslim, dan telah terbiasa menunaikan ibadah shaum Ramadhan, statusnya bukan muallaf lagi, tetapi mukallaf (seseorang yang telah dibebani kewajiban Syariat secara penuh). Saat itu, dia harus menjalankan ibadah Ramadhan seperti Muslim pada umumnya. Dalilnya, adalah: “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” (Al Baqarah: 286).

[31] Melaksanakan I’tikaf di bulan Ramadhan
[32] I’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan. I’tikaf ini memiliki aturan-aturan yang ketat. Misalnya, seseorang harus masuk masjid sejak Maghrib, pada malam 21 Ramadhan. Mereka berada di masjidnon stop selama 9 atau 10 hari, sampai malam Idul Fithri. Mereka tidak boleh keluar dari masjid, kecuali untuk urusan-urusan darurat seperti buang air, mandi, atau pengobatan mendesak. Itu pun harus segera kembali ke masjid, setelah urusannya selesai. Makan sahur dan berbuka, tidur istirahat, ganti pakaian, dll. semua dilaksanakan di masjid. Jika melanggar ketentuan itu, amal I’tikafnya dianggap batal. Tetapi yang disebut BATAL itu bukan hilangnya semua pahala amal I’tikaf-nya. Tidak demikian. Sebab Allah itu tidak menyia-nyiakan amal hamba-Nya. “Sesungguhnya Aku ini tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal dari kalian, baik laki-laki atau wanita.” (Ali Imran: 195). Tetapi I’tikaf yang dijalani orang itu tidak seperti I’TIKAF SUNNAH yang dilakukan Nabi Saw di 10 hari terakhir Ramadhan. Artinya, dia kehilangan pahala I’tikaf seperti yang Nabi, tetapi dia tetap mendapat pahala I’tikaf sesuai amal yang dilakukannya. Amal I’tikaf sekecil apapun, tetap dihargai oleh Allah Ta’ala, sebab DiaSyakirun ‘Alim (Maha Mensyukuri dan Maha Mengetahui). (Penulis blum menemukan pendapat fikih kontemporer terkait masalah ini berkaitan dg kondisi kekinian dimana umat banyak berprofesi sebagai pegawai/karyawan/dsb yang dibatasi oleh aturan jam kerja, dsb.)

[33] Pelaksanaan takbir menyambut Shalat Idul Fithri bukan dilakukan dengan begadang semalam suntuk, terus-menerus bertakbir sejak selesai Shalat Isya’ sampai datangnya Shubuh. Apalagi misalnya membaca takbir sambil membawa beduk, gendang, kentongan, bunyi-bunyian, sambil keliling kampung, diselingi dengan menyalakan petasan. Perbuatan seperti itu tidak dihitung sebagai ibadah, tetapi sebagai tradisi yang bersifat duniawi. Selagi di dalamnya tidak ada perbuatan-perbuatan yang munkar, ia dianggap perbuatan mubah. Praktik takbiran yang sesuai Sunnah adalah ketika jamaah Shalat Idul Fithri berjalan dari rumah menuju lapangan tempat Shalat Id, saat itu dia membaca takbir. Dan takbir diteruskan saat jamaah berkumpul menanti Shalat Id dilaksanakan. Ya, hanya di tempat-tempat itu Syariat bacaan takbir diterapkan. Adapun takbir sampai begadang semalam suntuk, hal ini tidak ada contohnya dari Nabi Saw.

[34] Sunnah yang penting dilaksanakan di pagi Idul Fithri (1 Syawal) adalah membatalkan puasa setelah Shalat Shubuh

[35] Hari raya Idul Fithri dan Idul Adha adalah hari raya kaum Muslimin. Disini kaum Muslimin halal bergembira ria, meskipun berlebih-lebihan. Selama mereka tidak masuk ke perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Bisa dikatakan, kegembiraan di dua hari raya Id ini seperti cerminan nikmat syurgawi yang sudah diberikan sejak di dunia. Seorang Muslim tidak akan dicela bergembira ria di dua hari raya ini. Walhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

[36] Jika Idul Fithri jatuh di hari Jum’at, kaum Muslimin melaksanakan Shalat Id di pagi harinya, maka di siang harinya mereka tidak perlu melakukan Shalat Jum’at lagi. Seseorang cukup mengikuti satu Shalat Id (atau Jum’ah) dalam sehari. Kalau mau mengikuti keduanya juga tidak apa-apa. Hanya saja, hal itu menunjukkan sikap was-was dalam ibadah dan tidak mencerminkan sikap orang ‘alim. Bahkan seperti orang yang tidak meyakini bahwa Allah memiliki Kemurahan-kemurahan di atas ibadah hamba-hamba-Nya. Dalam beberapa riwayat disebutkan tentang perbuatan Abdullah bin Zubair Ra. Saat beliau memimpin Madinah, pernah hari raya jatuh di hari Jum’at. Setelah melaksanan Shalat ‘Id pagi hari, beliau tidak mengadakan Shalat Jum’at lagi. Ketika hal itu disampaikan kepada Ibnu Abbas Ra, beliau membenarkan perbuatan Abdullah bin Zubair dan menyebut hal itu sesuai Sunnah. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Demikian, sekian banyak kemudahan-kemudahan dalam ibadah di bulan Ramadhan dan Idul Fithri. Hal ini menjadi bukti besar firman Allah: “Yuridullahu bi kumul yusra, wa laa yuridu bi kumul ‘usr” (Allah menginginkan kemudahan bagi kalian, Dia tidak menginginkan kesulitan bagi kalian. Al Baqarah: 185). Kaidah-kaidah kemudahan itu benar-benar ditampakkan dalam ibadah Ramadhan ini. Mungkin bisa dikatakan, “syurganya kemudahan” ada dalam ibadah ini.

Hanya saja, kita harus bersikap adil. Terima kemudahan-kemudahan itu dengan syukur dan keyakinan atas Kemurahan Allah. Tetapi jangan memudah-mudahkan sesuatu yang tidak diberi ruang kemudahan di dalamnya. Jangan bersikap “sok shalih” dengan menutup mata terhadap kemudahan-kemudahan yang diberikan. Tetapi jangan pula kehilangan sikap kehati-hatian saat menunaikan amal-amal ibadah. Prinsipnya adalah sikap moderat (tawasuth), tidak memberat-beratkan diri (tafrith), dan tidak pula memudah-mudahkan urusan ibadah (ifrath).

Dengan begitu luasnya karunia Allah ini, tidak salah jika di akhir bukan Ramadhan, Allah Ta’ala mensyariatkan bacaan takbir: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaha illallah, Huwallahu Akbar. Allahu Akbar walillahil hamdu.” Bacaan ini mencerminkan Keagungan Allah yang sangat luas Rahmat-Nya kepada kaum Muslimin. Dalam Al Qur’an, “Dan agar kalian membesarkan Allah (membaca takbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, dan agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (Al Baqarah: 185).

Orang-orang yang memahami semua ini, mereka akan sadar bahwa Rabb-nya sangat Pemurah, memberi kemudahan yang luas, serta memuliakannya dengan ibadah-ibadah yang penuh barakah. Bahkan kelak semua ibadah itu akan dibalasi dengan pahala yang lebih baik. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

Akhirnya, syukran jazakumullah khair atas semua perhatian Anda semua. Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Yang benar semata dari Allah Al Haq, yang salah dari diri saya sendiri. Jika dalam risalah ini ada kebaikan dan manfaat, silakan dibantu menyebarkannya kepada kaum Muslimin yang lain. Saya menghergai setiap masukan, kritik, dan koreksi yang disampaikan. Semoga semua ini bermanfaat, dunia Akhirat. Semoga pula Allah Al ‘Azhim selalu mengampuni dan merahmati diriku, kedua ayah-ibuku, keluargaku, Anda semua, keluarga Anda, serta Ummat Islam seluruhnya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi yang mulia, Rasulullah Saw, para keluarga dan Shahabatnya. Amin Allahumma amin.
Wallahu A’lam bisshawaab.