Sabtu, 06 Agustus 2011

Metode Tarjih (2)


Metode (manhaj) resmi yang dipergunakan oleh Dewan Hisbah dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan dasar utama adalah al-Quran dan Hadits shahih, dengan rumusan sebagai berikut:
Dalam ber-istidlal dengan al-Quran:
  1. Mendahulukan zhahir ayat al-Quran daripada ta'wil dan memilih cara-cara tafwidh dalam halhal yang menyangkut masalah i'tiqadiyah.
  2. Menerima dan meyakini isi kandungan al-Quran sekalipun tampaknya bertentangan dengan 'aqly dan 'ady, seperti masalah Isra dan Mi'raj.
  3. Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi kecuali jika ada alasan (qarinah), seperti kalimat: "Aw lamastumun nisa" dengan pengertian bersetubuh.
  4. Apabila ayat al-Quran bertentangan dengan Hadits, didahulukan ayat al-Quran sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih, seperti hal menghajikan orang lain.
  5. Menerima adanya nasikh dalam al-Quran dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskh al-kulli).
  6. Menerima tafsir para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran (tidak hanya penafsiran ahl al-bait) dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan sahabat.
  7. Mengutamakan tafsir bi al-Ma'tsur daripada bi ar-Ra'yi. Menerima Hadits-Hadits sebagai bayan terhadap al-Quran, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.
Dalam ber-istidlal dengan Hadits:
  1. Menggunakan Hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
  2. Menerima Kaidah: Al-haditsu aldhaifatu yaqwa ba'duha ba'-dhan, jika kedha'ifan hadits tersebut dari segi hafalan perawi (dhabth) dan tidak bertentangan dengan al-Quran atau Hadits lain yang shahih. Adapun jika kedha'ifan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-rawi), maka kaidah tersebut tidak dipakai.
  3. Tidak menerima Ka'idah: Al-haditsu al-dha'ifu ya'malu fi fadhail al-'amali, karena yang menunjukkan fadha'il al-'amal dalam Hadits shahih pun cukup banyak.
  4. Menerima Hadits shahih sebagai tasyri' yang mandiri, sekalipun bukan merupakan bayan al-Quran.
  5. Menerima hadits Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas hadits tersebut shahih.
  6. Hadits Mursal Shahabi dan Mauquf bi Hukm al-Marfu' dipakai sebagai hujjah selama sanad Hadits tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan Hadits lain yang shahih.
  7. Hadits Mursal Tabi'i dijadikan hujjah apabila Hadits tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittishal) Hadits tersebut.
  8. Menerima kaidah: Al-jarh muqaddamun 'ala al-ta'dil dengan ketentuan sebagai berikut:
    • Jika yang men-jarh menjelaskan jarh-nya (mubayan al-sabab), maka jarh didahulukan daripada ta'dil.
    • Jika yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, maka ta'dil didahulukan daripada jarh.
    • Bila yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, tapi tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqat, maka jarh-nya bisa diterima.
  9. Menerima kaidah tentang sahabat: Al-sahabatu kulluhum 'udul.
  10. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima, jika menerangkan bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas shigat tahamul-nya menunjukkan ittishal, seperti menggunakan kata: hadzatsani.
Adapun dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak ditemukan nashnya yang tegas (sharih) dalam al-Quran dan al-Hadits, ditempuh dengan cara ijtihad jama'i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
  1. Tidak menerima ijma' secara mutlak dalam masalah ibadah kecuali ijma' sahabat.
  2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam ibadah ghair mahdlah, qiyas diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.
  3. Dalam memecahkan ta'arud al-'adilah diupayakan dengan cara:
    1) Thariqat al-jami', selama masih mungkin di-jam'u.
    2) Thariqat at-tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, mialnya:
    a) Mendahulukan al-Mutsbit daripada an-Nafi.
    b) Mendahulukan hadits-hadits riwayat shahihain daripada diluar shahihain.
    c) Dalam masalah-masalah tertentu, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
    lebih didahulukan daripada riwayat Bukhari, seperti dalam hal
    pernikahan Nabi dengan Maemunah.
    d) Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid'ah lebih
    didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.
    3) Thariqat an-naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang
    kemudian.
  4. Dalam membahas masalah ijtihad, Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para fuqaha.
  5. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri padasuatu madzhab, tetapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam rumusan-rumusan ini, dijelaskan pula catatan penting, antara lain bahwa sekalipun para ulama Persatuan Islam telah sepakat dengan metode tersebut, namun belum tentu hasil ijtihadnya sama, karena masih bergantung kepada ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam mengambil suatu keputusan dan meninjau dari berbagai sudut pandang. Untuk itu, dalam musyawarah diperlukan jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain, dan rela menerima koreksi andai kata hasil ijtihadnya keliru.
(Sumber : Pandangan Keagamaan PERSATUAN ISLAM Sejarah, Pemikiran, dan Fatwa Ulamanya; Cetakan I, Juni 2005/Rabiuts Tsani 1426 H. Badri Khaeruman, Drs. M.Ag. Granada)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar