Sabtu, 06 Agustus 2011

Hukum Jabat Tangan Dengan Wanita (by. Dr. Yusuf Qardhawi)

PERTANYAAN
Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang
tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap
kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak
bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau
saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang
ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya.
Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah,
atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda,
tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah
(mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara
yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur’an atau As-Sunnah
yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi
kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping
ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari
rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat
tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini
kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
Apabila ada dalil syar’inya, maka kami akan menghormatinya
dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan
kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan
kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata
hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya
fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat
dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar,
dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan
harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya
berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif.
Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan
berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan,
maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapang an yang
diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan
dan bisa menimbulkan “bencana” kalau tidak dipenuhi.
Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu
tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini,
sebab – sebagaimana saya katakan di muka – persoalan ini
bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.
Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan
memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah,
dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
JAWABAN
Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa
masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan – yang saudara tanyakan itu – merupakan masalah
yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa
dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan
pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus
bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang
telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati
acuannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga
argumentasi- argumentasinya dapat didiskusikan untuk
memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati
kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam
pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan
memperturutkan hawa nafsu.
Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin
mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan
pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran
itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu,
menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila
disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya
dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi;
penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada
hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah
wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama
bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang
pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila
disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak
tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah
barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung,
anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.
Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan
wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai
syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa
beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita
tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua
untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan
tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan
perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan
mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah
lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat
seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan
terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan
perhiasannya.
“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita …”(an-Nur: 31)
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema
pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan
tahkik.
Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya
hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya …” (an-Nur: 31)
Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak
itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan
sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti
tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka
tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara
laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab,
apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram,
apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat
daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian
adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari
kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat “kecuali yang
biasa tampak daripadanya” adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan
yang tidak disertai syahwat?
Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan
yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya
temukan.
Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari’ ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa
ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut
fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam
kondisi aman – dan ini sering terjadi – maka dimanakah letak
keharamannya?
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau
membai’at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan -
secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh,
adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti
beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi
orang yang berpendapat demikian.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat
tangan dengan kaum wanita pada waktu bai’at itu belum
disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah
al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan
dengan wanita pada waktu bai’at, berbeda dengan riwayat dari
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu
dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa
Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji
setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)
Aisyah berkata, “Maka barangsiapa diantara wanita-wanita
beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw.
berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan
saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak
menyentuh tangan wanita dalam bai’at itu; beliau tidak
membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah
membai’atmu tentang hal itu.’” 4
Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …,”
al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai
berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan
berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah
hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu
Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar,
ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin
Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah
bai’at, Ummu Athiyah berkata:
“Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah
dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian
beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah. ‘”
Demikian pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang
tersebut dalam al-Bukhari – dimana Aisyah mengatakan:
“Seorang wanita menahan tangannya”
Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai’at dengan
tangan mereka.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu
dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik
hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai’at meskipun tidak
sampai berjabat tangan… Adapun untuk yang kedua, yang
dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya
sebelum bersentuhan. .. Atau bai’at itu terjadi dengan
menggunakan lapis tangan.
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa
Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain
selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di
atas tangan beliau, seraya berkata,
“Aku tidak berjabat dengan wanita.”
Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw.
memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.
Ibnu Hajar berkata: “Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni
peristiwa bai’at itu terjadi lebih dari satu kali,
diantaranya ialah bai’at yang terjadi di mana beliau tidak
menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan
lapis maupun tidak, beliau membai’at hanya dengan perkataan
saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada
kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan
wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang
diriwayatkan oleh asy-Sya’bi.”
Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan
Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada
lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan
Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.
Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan
berulang-ulangnya bai’at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan
bai’at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah
terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu
Athiyah – secara lahiriah – membicarakan yang lebih umum
daripada itu dan meliputi bai’at wanita mukminah secara
umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu
Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari
memasukkan hadits Aisyah di bawah bab “Idzaa Jaa aka
al-Mu’minaat Muhaajiraat, ” sedangkan hadits Ummu Athiyah
dimasukkan dalam bab “Idzaa Jaa aka al- Mu’minaat
Yubaayi’naka. ”
Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan
acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan – yaitu bahwa Nabi
saw. tidak berjabat tangan dengan wanita – belumlah
disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak
merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan
masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.
Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat
tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani
dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau
bersabda:
“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu
dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh
wanita yang tidak halal baginya.”5
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
pengambilan hadits di atas sebagai dalil:
1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas
akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti
al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan,
“Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau
perawi-perawi sahih.”
Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan
kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan
terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat
‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak
diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang
masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu
yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan
bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan
dalil qath’i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti
Al-Qur’anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur.
Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada
kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan
hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka
bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?
3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat
digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati
petunjuknya tidak jelas. Kalimat “menyentuh kulit wanita
yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata
bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana
yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata
al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup digunakan
dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan
biologis (jima’) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam
menafsirkan firman Allah: “Laamastum an-Nisat” (Kamu
menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, “Lafal al-lams,
al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur’an dipakai sebagai
kiasan untuk jima’ (hubungan seksual). Secara umum,
ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata al-mass
menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman
Allah yang diucapkan Maryam:
“Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun …” (Ali Imran:
47)
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh
mereka…” (al-Baqarah: 237)
Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati
istri-istrinya tanpa menyentuhnya ….
b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah
kategori jima’, seperti mencium, memeluk, merangkul, dan
lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’ (hubungan
seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam
menafsirkan makna kata mulaamasah.
Al-Hakim mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam
al-Mustadrak ‘al a ash-Shahihaini sebagai berikut :
Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan
hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih
yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan)
dibawah jima’:
(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:
“Tangan, zinanya ialah menyentuh… ”
(2) Hadits Ibnu Abbas:
“Barangkali engkau menyentuhnya. ..?”
(3) Hadits lbnu Mas’ud:
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang)…”6
Al-Hakim berkata, “Dan masih ada beberapa hadits sahih pada
mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya …”
Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:
(4) Dari Aisyah, ia berkata:
“Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw.
mengelilingi kami semua – yakni istri-istrinya – lalu
beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah
jima’. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang
waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ.”
(5) Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au laamastum
an-nisa” (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan
dibawah jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”
(6) Dan dari Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu
termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah
karenanya.”7
Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab
Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita
yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan
syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka
menafsirkan firman Allah, “au laamastum an-nisa’” (atau kamu
menyentuh wanita).
Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya
melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal
“mulaamasah” atau “al-lams” dalam ayat tersebut dengan
semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti
berikut:
Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh
semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini
bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma’
sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan
qiyas bagi yang berpendapat begitu.
Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau
jika kamu menyentuh wanita …) itu dimaksudkan untuk
menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya -
seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya – maka sudah
dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan
bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i’tikaf: “…
Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang
i’tikaf dalam masjid…” (al-Baqarah: 187)
Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i’tikaf dengan
tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan
memeluk yang disertai syahwat.
Demikian pula firman Allah: “Jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …”
(al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …”
(al-Baqarah: 236).
Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan
sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan
tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak
menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan
ulama.
Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa’
mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat,
maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur’an, bahkan
menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah
dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh)
yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah
dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat,
sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath’u (yang asal
artinya “menginjak”) yang diikuti dengan kata-kata laki-laki
dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah
al-wath’u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan
menginjak dengan kaki.”8
Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat
berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum
annisa’. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa
yang dimaksud ialah jima’. dan mereka berkata, “Allah itu
Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu
sesuai dengan yang Ia kehendaki.”
Beliau berkata, “Ini yang lebih tepat diantara kedua
pendapat tersebut.”
Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna
kata al-lams, apakah ia berarti jima’ atau tindakan dibawah
jima’. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima’.
Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan)
berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima’
(pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan
kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab
dan menyalahkan Mawali.9
Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa
kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam
konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan
semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud
ialah mungkin jima’ (hubungan seks) atau pendahuluannya
seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan
sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.
Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah
saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa
semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan
perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan
terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya
perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri
teladan yang baik bagimu…” (al-Ahzab: 21)
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada “Kitab
al-Adab” dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak
penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu
membawanya pergi ke mana ia suka.”
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak
penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah
saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari
tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka.”
Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:
“Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah
kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini
meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena
disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya
budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum
dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan), yakni budak
perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa’at
(kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan
ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu
menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si
budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia
meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya
itu niscaya beliau akan membantunya.
Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya
Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap
sombong.”10
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar
dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang
tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang
berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima,
karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang
dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan
itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil
atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang
mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan
riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak
melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa
beliau pergi kemana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas
bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk
memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar
dari makna lahir ini.
Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan
dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas “bahwa Nabi
saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu
Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur
di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di
pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala
beliau dari kutu …”
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits
ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain
(yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti
dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita
asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan
makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.
Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya
dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini
menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil
Barr berkata, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui
Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu
Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan “sebagai ibu
susuan” atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu,
beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah
apa yang layak dilakukan oleh mahram.”
Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan
sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai
hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara
ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari
Bani Najjar …
Yang lain lagi berkata, “Nabi saw. itu maksum (terpelihara
dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan
hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap
wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan
daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan
perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan
beliau.”
Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan
argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan
dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya
kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada
dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau
dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang
menunjukkan kekhususannya.
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras
lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama,
yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara
Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:
“Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah
seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab.
Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak
ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita
Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin
Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin
an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin
Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu
Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin
Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan
bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini
adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap
Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani
Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan
saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”
Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, “Apabila sudah tetap
yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang
menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat
wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu
Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau
menjawab, ‘Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam
peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin Milhan, yang
terbunuh pada waktu peperangan Bi’r Ma’unah.”
Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu
Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram
tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup
didalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah
saudara mereka berdua. Maka ‘illat (hukumnya) adalah sama
diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.
Dan ditambahkan pula kepada ‘illat tersebut bahwa Ummu
Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah
berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani,
serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang
terjadi diantara orang-orang luar.
Kemudian ad-Dimyati berkata, “Tetapi hadits itu tidak
menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu
Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak,
pembantu, suami, atau pendamping.”
Ibnu Hajar berkata, “Ini merupakan kemungkinan yang kuat,
tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari
asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam
membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan.”
Al-Hafizh berkata, “Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini
ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini
tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan
kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah
jelas.”11
Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar
ataukah jelas?
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang
mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan
kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang
menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi
antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta
aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak
mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan
ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan
jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat
wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak
perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu
maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya,
lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya
tekankan:
Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai
dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan
terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat
dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa
lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak
diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu
tiadanya syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan
tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti
bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya,
mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi
seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun
haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan
saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas,
yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi
hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik
hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu
kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan
meneladani Nabi saw. – tidak ada riwayat kuat yang
menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan
wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan
yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah -
yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat
tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat
tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang
yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya,
dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah
mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk
berijtihad.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
2 Ibid., 4: 156-157
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan
kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan
pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki
dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si
Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur’an dan
Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam “Kitab Tafsir Surat
al-Mumtahanah, ” Bab “Idzaa Jaa’aka al-Mu’minaatu
Muhaajiraat. ”
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: “Perawi-perawi
Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang
sahih.”
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat
asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam
sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang
kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat
sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh
dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia
menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang
artinya), “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
dosa perbuatan-perbuatan yang buruk…” (Hud: 114) (HR
Muslim dengan lafal ini dalam “Kitab at-Taubah,” nomor 40)
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
8 Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid
21, hlm. 223-224.
9 Ibid.
10 Fathul Bari, juz 13.
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan
redaksional

dicopas dari: http://manbaul-huda.com/?p=93#more-93
Catatan:
yg digaris bawahi adalah "
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah -
yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat
tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat
tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang
yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya,
dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah
mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk
berijtihad." (tentunya hal ini jelas bukan menafikkan pihak yang berhati-hati untuk sama sekali mengharamkan bersalaman dengan lain jenis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar