Rabu, 25 Juli 2012

FIQIH KEMUDAHAN dalam IBADAH RAMADHAN

Mohon maaf sebelumnya kepada author tulisan ini, karena tanpa izin melakukan copas dan sedikit suntingan atas tulisan bertajuk di atas. Insya Allah, semua ini berangkat dari nawaitu yang lurus untuk saling berbagi ilmu, saling memberi nasihat dan saling memperkaya khasanah keilmuan kita.

Editing hanya dilakukan terhadap beberapa point yang berdasarkan pertimbangan pribadi dipandang sudah dimafhumi banyak pihak sehingga sengaja di skip supaya tulisannya tidak terlalu panjang.

Kepada pembaca yang budiman yang ingin membaca langsung dari sumbernya, silakan mengunjungi laman "pustaka langit biru" yang juga tulisannya ini diambil dari sumber:
 “Ringkasan Hukum Ibadah Puasa”, karya Ustadz Abu Al Jauza’ (atau Abdul Rahman), dimuat di MyQuran pada 25 Sya’ban 1429 H (28 Agustus 2008).


Jadi ringkasannya kurang lebihnya sbb:



     Salah satu prinsip yang perlu dipahami ketika kita bicara tentang IBADAH, adalah prinsip kemudahan (al ushulut taisir). Allah Ta’ala tidak zhalim dalam menetapkan kewajiban ibadah kepada manusia. Dia menetapkan kewajiban ibadah selaras dengan kesanggupan hamba-Nya. Pada dasarnya, ibadah itu bukan untuk Allah, sebab Dia Maha Kaya. Ibadah adalah demi kebaikan manusia sendiri. Dalam Al Qur’an: “Dan siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka hal itu lebih baik bagi dirinya (sendiri).” (Al Baqarah: 184).
Tentang prinsip KEMUDAHAN ini dalilnya disebutkan dalam Al Qur’an: “Allah menginginkan kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagi kalian.” (Al Baqarah: 185). Menariknya, ayat ini latar-belakangnya berbicara tentang ibadah Puasa di bulan Ramadhan.

Singkat kata, ibadah di bulan Ramadhan seharusnya penuh dengan kemudahan-kemudahan, bukan kesulitan-kesulitan. Sayangnya, selama ini FIQIH TAISIR (kemudahan) dalam ibadah Ramadhan kurang dipahami oleh masyarakat. Mereka beribadah dengan mengikuti tradisi, lalu secara fanatik bertahan dengan tradisi tersebut. Alangkah baik jika Ummat ini memahami Kemurahan Allah Ta’ala yang telah melapangkan Syariat-Nya.


Berikut ini kemudahan-kemudahan Syariat Islam dalam ibadah Ramadhan. Silakan disimak baik-baik. Semoga bermanfaat bagi Anda, saya, keluarga kami, dan kaum Muslimin seluruhnya. Allahumma amin.

[1] Ibadah Shaum Ramadhan dimulai dengan niat. Seseorang yang menjalankan shaum tanpa niat terlebih dulu di malam harinya, puasanya tidak sah. “Siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, tidak ada puasa baginya.” (HR. An Nasa’i, Baihaqi, Ibnu Hazm). Dan niat ini adalah kehendak di hati untuk menyengaja melakukan suatu ibadah. Disini tidak perlu melafadzkan kalimat “nawaitu shauma ghadin”, sebab Nabi tidak mencontohkan hal itu. Ketentuan niat ini maksudnya untuk membedakan dengan shaum sunnah. Nabi Saw pernah berniat puasa di siang hari ketika beliau belum makan-minum, dan di rumahnya tidak didapati makanan. (HR. Muslim). Dalam Shaum Ramadhan tidak boleh niat pada siang hari, tetapi harus sejak malam hari sebelum fajar. Namun perlu dicatat, seseorang yang sejak awal telah berniat menyelesaikan shaum Ramadhan sebulan penuh, sebenarnya dia telah berniat puasa setiap malamnya. Allah Maha Tahu niat di hati-hati kita.

[2] Orang-orang yang lemah, atau sedang berada dalam kesulitan, boleh meninggalkan shaum. Bagi orang lanjut usia (manula), yang menderita sakit menahun, ibu-ibu hamil atau menyusui, mereka boleh meninggalkan shaum secara mutlak. Kompensasinya, mereka membayar fidyah (memberi makan orang miskin) sejumlah hari-hari ketika mereka tidak berpuasa. Jika sebulan penuh tidak puasa, maka sebulan pula mereka memberi makan orang miskin. (Ketentuannya: Satu hari tidak puasa, pada hari itu seseorang memberi makan satu orang miskin senilai makanan sehari yang biasa dia makan. Boleh memberi makanan matang, atau bahan makanan mentah. Kalau bahan mentah, sebaiknya dihitung untuk beberapa hari sekaligus, agar tidak merepotkan yang diberi makan). Bagi yang sakit temporer, sedang dalam safar, sedang bekerja menguras tenaga, sedang berjuang membela agama, atau kondisi semisal itu, mereka boleh tidak puasa. Tetapi kompensasinya, mereka harus mengganti puasa yang dia tinggalkan, dikerjakan pada hari-hari lain di luar Ramadhan. Itulahshaum qadha’. (Shaum qadha’ ini puasa wajib, maka niatnya juga sejak malam hari, bukan “terpaksa” setelah siang hari). Dalil tentang masalah ini adalah Surat Al Baqarah ayat 184. (Pen. di sini tidak ada rujukan khusus yang menyatakan "penggantian dobel" ya bayar fidyah plus meng-qada puasa; jadi cukup fidyah saja)

[3] Musafir yang berada dalam perjalanan (safar), boleh meninggalkan shaum dan boleh juga tetap mengerjakannya. Nabi Saw pernah melakukan kedua cara itu. Tinggal dilihat urusan yang sedang dihadapi. Jika perjalanan itu ringan dan tidak memberatkan, silakan teruskan puasa sampai Maghrib. Jika perjalanan itu berat atau dalam rangka Jihad Fi Sabilillah, lebih utama tidak puasa. Saat penaklukan Makkah, Nabi Saw pernah membatalkan puasa ketika perjalanan, saat beliau dan para Shahabat sampai di Kura’ Al Ghamim (HR. Muslim). Hamzah bin Amru Al Aslami Ra. pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku mendapati diriku mampu berpuasa dalam safar. Apakah aku berdosa?” Nabi menjawab, “Ia adalah keringanan dari Allah. Siapa yang mengambil keringanan itu (tidak puasa), itu baik. Dan siapa yang suka berpuasa, dia tidak berdosa.” (HR. Muslim).

[4] Boleh melakukan perbuatan-perbuatan mubah di siang hari Ramadhan, yang dimaksudkan untuk menuntaskan puasa sampai Maghrib. Misalnya, tidur di luar waktu-waktu shalat, melakukan permainan-permainan untuk melupakan diri dari rasa lapar, jalan-jalan sambil menanti datangnya adzan Maghrib, dll. Syaratnya, semua perbuatan-perbuatan itu bukan yang diharamkan. Namun jika waktu-waktu tersebut bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat, tentu lebih baik. Pada dasarnya Allah Ta’ala itu Syakirun ‘Alim (Maha Mensyukuri amal-amal hamba-Nya dan Maha Mengetahui).

[5] Wanita yang sedang masak di dapur, dia boleh mencicipi makanan yang dimasaknya, sekedar untuk mengetahui apakah rasa makanan itu sudah cocok atau belum. Hal ini bukan termasuk definisi makan (akala) sebagaimana yang dilarang dilakukan orang-orang yang sedang berpuasa. Melakukan test rasa bukanlah makan-minum yang membatalkan puasa. Dalil penguatnya adalah atsar dari Ibnu Abbas Ra., “Tidak masalah seseorang mencicipi cuka atau sesuatu yang lain, selama ia tidak masuk ke kerongkongannya, sedangkan dia sedang shaum.” (HR. Bukhari dalam Fathul Bari’).

[6] Boleh berkumur-kumur ketika sedang shaum. Kumur-kumur bisa dilakukan saat wudhu atau di luar wudhu. Berkumur-kumur ini ditujukan untuk membuang bau busuk di mulut, untuk membuang rasa pahit di mulut, atau agar mulut terasa lebih segar. Dalilnya, kumur-kumur bukan termasuk definisi minum (syariba) sebagaimana yang membatalkan puasa. Dalam hadits diceritakan, Umar bin Khattab Ra. saat berpuasa menciumi isterinya, lalu dia bertanya ke Nabi Saw, apakah perbuatan seperti itu boleh? Nabi Saw menjawab: “Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dengan air, sementara engkau sedang shaum?” Umar menjawab: “Tidak masalah.” Lalu Nabi berkata lagi: “Lalu mengapa masih ditanyakan juga.” (HR. Ahmad dan Baihaqi). Namun harus berhati-hati saat kumur-kumur agar air tidak tertelan ke perut. Sebagian ulama menyebut kumur-kumur dan memasukkan air ke hidung saat wudhu sebagai perbuatan makruh (tidak disukai). Kumur-kumur ini dilakukan seperlunya saja, kalau memang membutuhkan. Saya sarankan, kalau Anda selesai kumur-kumur, cobalah membuang sisa-sisa air yang masih di mulut. Tetapi lakukan hal itu biasa-biasa saja, jangan berlebihan. Sejauh di hati kita tidak ada niat untuk memasukkan tetes-tetes air ke dalam perut, Allah Maha Tahu apa yang kita niatkan.

[7] Selama berpuasa, kita boleh bersiwak. Bersiwak caranya dengan menggosokkan kayu siwak ke gigi, baik untuk membersihkan gigi atau mengusir bau busuk di mulut. Dalilnya, Nabi Saw pernah bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan Ummat-ku, tentu akan aku perintahkan mereka bersiwak di setiap shalat.” (HR. Bukhari-Muslim). Yang dimaksud shalat disana tentu mencakup shalat di setiap waktu, termasuk dalam bulan Ramadhan. Dalam praktik modern, bersiwak diganti dengan gosok gigi memakai pasta gigi. Kayu siwak bukanlah barang yang mudah didapat di negari kita. Gosok gigi boleh dilakukan selama sedang shaum; baik ditujukan untuk membersihkan gigi, menghilangkan bau busuk di mulut, atau melakukan terapi pengobatan. Dalam gosok gigi ini kita memakai pasta gigi. Pasta gigi rata-rata berasa manis dan mengandung mint. Alangkah baik kalau dalam puasa, mulut kita berpuasa juga dari aneka rasa (kecuali ibu-ibu yang mencicipi rasa makanan saat memasak). Disarankan, kalau Anda gosok gigi, cukuplah Anda mengambil sedikit pasta gigi, jangan berlebihan. Setelah gosok gigi, cobalah berkumur-kumur yang bersih, sehingga sisa-sisa “deterjen” di mulut jadi bersih. (He he he… Maaf, jadi menyisipkan “kritik produk” disini). Jika gosok gigi bisa dilakukan saat berbuka (saat halal makan-minum), itu lebih baik. Jika gosok gigi di siang hari, sebaiknya dilakukan sekali saja, misalnya ketika Zhuhur.

[8] Menelan ludah di mulut saat berpuasa adalah mubah (boleh). Dalilnya, menelan ludah bukanlah definisi minum seperti yang membatalkan puasa. Minum adalah memasukkan minuman dari luar, dimasukkan ke perut melalui mulut, untuk menghilangkan kehausan. Dalam Al Qur’an dan Sunnah tidak ada dalil yang melarang orang shaum menelan ludah di mulutnya sendiri. Bahkan, perbuatan terus meludah karena ingin menghindari agar ludah tidak masuk ke kerongkongan, hal itu tidak ada contohnya dari Nabi Saw.

[9] Berendam di kolam atau sering mandi saat siang hari Ramadhan, untuk melawan hawa panas, rasa gerah, atau untuk menimbulkan kesegaran tubuh, hal itu termasuk perkara mubah (boleh). Hanya saja, harus hati-hati, jangan sampai air masuk ke mulut, lalu tertelan ke perut. Dalilnya, berendam di air bukan termasuk perkara-perkara yang membatalkan puasa.

[10] Seseorang yang lupa makan-minum saat siang hari Ramadhan, puasanya tetap sah

[11] Sangat dianjurkan mengakhirkan makan sahur

[12] Sangat dianjurkan menyegerakan berbuka puasa (ifthar), jika waktunya telah tiba

[13] Ketentuan IMSAK sebelum Shubuh bukan kewajiban. Anda tidak perlu secara ketat menuruti ketentuan Imsak. Nabi Saw pernah ditanya, jarak antara waktu sahur dan shalat Shubuh berapa lama? Beliau menjawab, “Sekitar bacaan 50 ayat.” (HR. Bukhari-Muslim). Bacaan 50 ayat itu sekitar 10 atau 15 menit. Tetapi ketentuan ini bukan bersifat wajib, hanya anjuran saja. Nabi menyebutkan hal itu agar kita berjaga-jaga sebelum Shubuh tiba. Maka sikap masyarakat kita yang berlebihan dalam menuruti ketentuan IMSAK adalah perbuatan yang salah. Di jaman Nabi tidak ada contoh perbuatan seperti itu.

[14] Jika terlambat bangun untuk sahur, lalu adzan Shubuh terdengar, maka hendaklah seseorang menyempurnakan sahurnya. Seharusnya, sebelum masuk waktu Shubuh, kita sudah berhenti dari urusan makan-minum. Idealnya demikian. Tetapi kadang kita terlambat bangun, misalnya bangun ketika 15 menit sebelum adzan Shubuh. Ketika itu kita harus buru-buru melaksanakan sahur. Jika saat sedang sahur, lalu terdengar adzan Shubuh, maka jangan dihentikan sahur itu, atau dimuntahkan makanan yang ada di mulut. Tetapi teruskan sahur sampai tuntas, meskipun sudah adzan Shubuh. Tidak menghabiskan makanan atau memuntahkan makanan di mulut, bukanlah akhlak Islami. Nabi Saw. pernah bersabda, “Jika salah satu kalian mendengar adzan Shubuh, sedangkan bejana (minuman) masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejana itu, sampai dia menyelesaikan hajatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud). Dalam hadits lain disebutkan: “Pernah iqamat dikumandangkan ketika di tangan Umar (Ra) masih ada bejana berisi air. Lalu dia bertanya kepada Nabi: “Apakah boleh kuminum ya Rasulullah?” Maka beliau menjawab: “Ya!” Maka air itu pun diminumnya.” (HR. Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Al Albani). Namun tidak berarti, Anda harus makan-minum sepuas-puasnya, seperti saat sahur dalam kondisi normal. Anda diberi toleransi untuk menyelesaikan hidangan yang ada di depan Anda. Jangan ditambah-tambah dengan aneka makanan-munuman lain. Oleh karena itu, sebelum menjalani sahur yang terburu-buru itu, siapkan hidangan secukupnya saja.

[15] Jika terlambat bangun, sampai keadaan telah terang-benderang, sehingga seseorang tidak sempat menjalankan sahur; maka dia tetap harus berpuasa. 

[16] Ibadah Shalat Tarawih di malam Ramadhan adalah ibadah yang penuh pahala dan kebaikan, tetapi hukumnya sunnah. Shalat Tarawih itu shalat sunnah, sama seperti shalat malam pada umumnya. Nabi Saw pernah mengerjakan shalat Tarawih di masjid 3 hari berturut-turut, setelah itu beliau tidak datang lagi ke masjid untuk Tarawih. Nabi melakukan hal itu karena khawatir jika shalat malam diwajibkan atas Ummat Islam, lalu memberatkan mereka. (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa hokum Shalat Tarawih (atau shalat malam pada umumnya) adalah sunnah. Mengerjakan shalat malam selama Ramadhan di rumah, sendirian atau berjamaah bersama keluarga, itu BOLEH. Jumlah rakaat shalat malam yang kita tunaikan sesuai kesanggupan. Tidak harus dipatok 11 rakaat (bagi yang meyakininya), atau 23 rakaat (bagi yang meyakininya). Minimal, 3 rakaat shalat witir. Dalam setiap rakaat tidak dipatok harus membaca surat ini atau itu, membaca ayat sekian atau sekian. Ya, sesanggup kita saja. Setiap rakaat membaca Surat Al Ikhlas terus, juga tidak masalah, jika memang bisanya baru sebatas itu.

[17] Shalat Tarawih bersifat santai, tidak terburu-buru, tidak memaksakan diri. Hal itu sesuai dengan nama Tarawih sendiri yang artinya istirahat-istirahat. Dalam shalat ini mestinya diselingi dengan istirahat (waktu jeda). Dr. Fauzan Al Fauzan dalam kitab Mulakhas Fiqhi-nya, beliau mengatakan: “Dinamakan Tarawih karena manusia dulunya beristirahat di dalamnya, setiap empat rakaat, karena dulu shalatnya panjang-panjang.” (Kitabus Shalah, hal. 117). Dalam shalat ini hendaklah kita jangan terburu-buru, atau memberat-beratkan diri. Konon, di India Ummat Islam ada yang menghatamkan Al Qur’an dalam semalam. Mereka shalat sejak selesai Isya’ sampai menjelang fajar. Hal-hal demikian ini tampaknya bagus, tetapi tidak benar. Nabi Saw melaksanakan Tarawih di masjid beberapa hari di awal Ramadhan, selebihnya beliau shalat malam di rumah. Hal itu agar tidak memberatkan Ummat-nya. (HR. Bukhari). Nabi Saw juga pernah menegur Muadz bin Jabal Ra, ketika beliau mengimami Shalat Wajib, beliau membaca surat yang panjang-panjang. Hal itu dikhawatirkan akan merepotkan Ummat yang memang sedang memiliki urusan tertentu. Andai kita ingin shalat malam secara intensif, berpanjang-panjang surat, berlama-lama berdiri, lakukan hal itu secara munfarid(sendiri-sendiri). Kalau ibadah berjamaah, diikuti banyak orang, sunnahnya ringan dan toleran.

[18] Laksanakan shalat malam di bulan Ramadhan semampunya. Ramadhan adalah bulan yang penuh amal ibadah, pahala dilipat-gandakan, ampunan dicurahkan, barakah dibentangkan di segala penjuru. Memperbanyak ibadah di bulan ini adalah SANGAT BAIK. Termasuk melaksanakan shalat malam. Tetapi dalam pelaksanaannya, selapang kita saja. Kalau mampu setiap hari Tarawih di masjid secara berjamaah, sejak rakaat pertama sampai terakhir, silakan lakukan. Kalau mampunya, Tarawih sekali-sekali, silakan. Kalau mampunya shalat malam di rumah bersama keluarga, silakan. Kalau mampunya shalat malam di rumah, sendirian, dan hanya 3 rakaat setiap malam, juga silakan. Pendek kata, amal ibadah ini sangat lapang, jangan dibuat sulit atau memberatkan. Lebih baik shalat dengan rakaat sedikit asalkan berkualitas, daripada shalat 23 rakaat atau 40 rakaat setiap malam, tetapi dilakukan terburu-buru atau merasa “penuh siksaan”. Nabi Saw bersabda: “Bersedang-sedanglah kalian, berdekat-dekatlah kalian, gunakanlah waktu pagi dan petang (untuk memohon pertolongan), serta sedikit dari waktu malam. Pertengahan, pertengahan, niscaya kalian akan sampai.” (HR. Bukhari).

[19] Kaum Muslimin harus berhati-hati terhadap amalan yang dibuat-buat setiap malam Ramadhan. Contoh, CERAMAH TARAWIH. Ceramah ini pada mulanya untuk mengisi waktu sebelum Tarawih dengan menuntut ilmu, taushiyah, atau tadzkirah. Tetapi kemudian praktiknya melenceng jauh dari niat semula. Ceramah Tarawih kini telah menjadi “kewajiban baru” setiap malam Ramadhan. Hampir setiap masjid mengadakannya. Kalau tidak mengadakan, seperti merasa berdosa. Untuk ceramah itu dibuatkan jadwal baku selama satu bulanan penuh. Bahkan jadwal itu dilengkapi dengan daftar penceramah badal (pengganti). Ceramah Tarawih ini menjadi rebutan para jamaah masjid. Setiap orang yang bisa ceramah sangat ingin namanya tercantum dalam daftar. Materi ceramah yang semula ilmu atau nasehat, akhirnya melebar kemana-mana. Bahkan yang semula dijadwal 7 menit (kuliah tujuh menit), kerap kali melar sampai 30 menit. Anak-anak sekolah pun diwajibkan mengikuti acara ini dan mencatat materinya. Mereka dibekali buku catatan khusus yang harus ditanda-tangani penceramah dan distempel oleh pengurus masjid. Hebatnya lagi, “kewajiban ceramah” ini juga dapat ditemukan setiap selesai Shalat Shubuh. Semua ini adalah BID’AH yang harus ditinggalkan. Setidaknya, mari kita kembali ke niat semula. Ceramah pada mulanya hanya untuk mengisi waktu saja. Jangan lalu ia dibuat seperti KEWAJIBAN dalam agama. Andai dalam ceramah itu ada kebaikannya, ya dilaksanakan selapangnya saja!

[20] Di malam hari bulan Ramadhan, suami-isteri boleh melakukan hubungan seksual

[21] Ketika suami-isteri mendapati Shubuh dalam keadaan junub, karena malamnya melakukan hubungan seksual, maka puasanya tetap sah. Junub di malam hari tidak membatalkan puasa. Hanya saja, Anda tidak boleh mengerjakan Shalat Shubuh, sebelum mandi wajib terlebih dulu. Dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim, Aisyah dan Ummu Salamah Ra. mengatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah junub pada saat Shubuh, karena melakukan hubungan seksual di malam Ramadhan, bukan karena bermimpi. Kemudian Nabi menjalankan puasa (seperti biasa).

[22] Larangan hubungan seksual di siang hari Ramadhan, tidak mengharamkan suami-isteri saling bercumbu. Bercumbu, selama tidak melakukan kontak hubungan seksual, tidak dilarang. Hanya saja, kalau dikhawatirkan nanti bisa berlanjut ke hubungan seksual, sebaiknya dihindari bercumbu di siang hari. Bercumbu disini misalnya, mencium, memeluk, meraba, memegang, menindih, dll. selama bukan kontak hubungan seksual. Dalam riwayat disebutkan, Aisyah Ra. berkata, “Dia (Rasulullah) pernah bercumbu (dengan Aisyah), padahal beliau sedang shaum. Kemudian beliau mengadakan (tabir kain) antara dirinya dengan Aisyah, maksudnya dengan kemaluan Aisyah.” (HR. Ahmad). Marzuq Ra. pernah bertanya kepada Aisyah Ra., “Apa yang dihalalkan bagi seorang laki-laki terhadap isterinya, ketika dia sedang shaum?” Aisyah menjawab: “Semuanya halal, selain jima’ (bersetubuh).” [Maaf beribu maaf, disini harus disampaikan dengan dengan bahasa agak vulgar!].

[23] Seseorang yang mengalami mimpi (ihtilam) di siang hari Ramadhan, sehingga keluar sperma secara tidak sengaja, puasanya tetap sahKeluar sperma secara tidak sengaja karena mimpi, tidak membatalkan puasa. Namun seseorang yang mengalaminya harus segera mandi besar (mandi janabah), agar bisa mengerjakan Shalat. Namun mengeluarkan sperma secara sengaja melalui onani ataumasturbasi, membatalkan puasa! Alasannya, perbuatan seperti itu memenuhi salah satu sifat jima’ (bersetubuh), yaitu sengaja mengeluarkan sperma. Apalagi puncak dari kenikmatan hubungan seksual bagi laki-laki, adalah keluarnya sperma itu sendiri.

[24] Di malam hari Ramadhan, seorang isteri yang sedang haidh masih bisa diajak bercinta (tetapi bukan Jima; Pen.). Cara demikian terutama bagi suami yang memiliki gairah seksual kuat, atau seseorang sedang sangat menginginkan pemuasan seksual ke isterinya di malam Ramadhan. Syaratnya, jangan sampai melakukan kontak seksual (jima’). Kegiatan seksual bisa dilakukan pada bagian selangkangan. Sebagian ustadz menyarankan melumuri selangkangan isteri dengan lotion (cairan kental yang aman). Pokoknya, jangan masuk ke bagian kemaluan isteri. (Sekali lagi, maaf beribu maaf, dengan terpaksa harus menguraikan masalah ini secara verbal, demi menyampaikan kebaikan, insya Allah). Namun cara demikian dilakukan dengan kerelaan hati isteri. Jangan memaksakan diri, sebab wanita haidh biasanya berada dalam situasi psikologis yang tidak stabil.

[25] Suami-isteri yang terpaksa melakukan hubungan seksual di siang hari Ramadhan, harus membayar kaffarat (penggugur kesalahan).

[26] Bagi yang tetap menjalankan puasa saat dalam safar (perjalanan), maka berlaku hukum-hukum safar baginya. Misalnya, shalat yang 4 rakaat boleh diqashar menjadi 2 rakaat; tidak perlu melakukan shalat sunnah Rawatib; di malam hari cukup mengerjakan Shalat Witir 3 rakaat. Hal demikian ini lebih utama daripada menjalankan ibadah-ibadah tersebut seperti keadaan saat mukim (di kampung halaman sendiri). Kalau mau menyiasatinya, Anda bisa lebih sering ikut shalat berjamaah di masjid. Karena ikut shalat berjamaah, maka Anda akan mengikuti jumlah rakaat seperti imam. Dan setelah shalat wajib itu tidak perlu shalat sunnah lagi, sebab kondisinya sedang safar.

[27] Seseorang yang menderita sakit, namun tetap berpuasa, dia boleh diberi obat untuk penyembuhan penyakitnya. Memasukkan obat ke tubuh tidak boleh melalui mulut atau hidung. Puasa tidak mengharamkan seseorang menjalani terapi pengobatan. Misalnya pemberian injeksi (suntikan), memasukkan obat ke anus untuk mengatasi derita ambein, atau menghirup obat hirup (gas) untuk penderita asma, dll. Selagi yang dimasukkan benar-benar obat, tidak melalui lubang mulut atau hidung, tidak berefek mengenyangkan atau menghilangkan haus; ia boleh dilakukan. Termasuk pemberian obat luar seperti salep, balsam, minyak, dll. juga boleh. Namun jika kondisi sakitnya cukup parah, sebaiknya tidak usah puasa sekalian. Dalil dari perkara ini, adalah keumuman anjuran Nabi Saw agar kita mencari pengobatan, kalau menderita sakit.

[28] Selama puasa, boleh menjalani terapi bekam. Bekam adalah terapi pengobatan dengan mengeluarkan darah kotor dari tubuh. Nabi Saw pernah menjalani hal itu saat beliau Ihram maupun berpuasa. (HR. Bukhari). Selama ini ada kesalahan pemahaman masyarakat kita. Katanya, kalau seseorang terluka, lalu keluar darah, atau gusinya berdarah, atau menangis, atau muntah secara tak sengaja, puasanya batal. Tidak benar semua anggapan ini. Yang disebut “keluar darah” yang membatalkan puasa adalah bagi wanita yang haidh saat berpuasa. Atau seseorang yang mengalami pendarahan berat, lalu keselamatannya terancam, maka dalam keadaan seperti itu dia harus membatalkan puasanya.
(Pen. ada beberapa kitab dari ulama besar yang berlainan kesimpulan mengenai hal berbekam ini, dimana kitab tersebut menyatakan berbekam termasuk hal yang membatalkan puasa.)

[29] Ketika berpuasa seharusnya ditinggalkan perbuatan-perbuatan buruk, seperti berbohong, ghibah, memfitnah, bertengkar, berkelahi, dll

[30] Bagi para muallaf yang belum sanggup menjalankan puasa sebulan penuh, mereka boleh berpuasa secara bertahap. Misalnya, dalam Ramadhan tahun ini dia mampu mengerjakan puasa 10 hari dalam sebulan. Pada Ramadhan tahun berikutnya 15 hari, berikutnya lagi 20 hari, hingga akhirnya dia bisa menuntaskan sebulan penuh. Cara demikian tidak dilarang bagi para muallaf. Dari pengalaman kami selama ini, puasa Ramadhan sebulan penuh bagi muallaf bukanlah amalan yang ringan. Rata-rata mereka tidak pernah menjalani puasa seperti itu. Jika muallaf itu mampu mengganti puasa yang dia tinggalkan di bulan-bulan lain, tentu lebih baik. Jika tidak mampu, boleh mengganti puasa yang dia tinggalkan dengan membayar fidyah. Namun jika dia telah bertahun-tahun menjadi Muslim, dan telah terbiasa menunaikan ibadah shaum Ramadhan, statusnya bukan muallaf lagi, tetapi mukallaf (seseorang yang telah dibebani kewajiban Syariat secara penuh). Saat itu, dia harus menjalankan ibadah Ramadhan seperti Muslim pada umumnya. Dalilnya, adalah: “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” (Al Baqarah: 286).

[31] Melaksanakan I’tikaf di bulan Ramadhan
[32] I’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan. I’tikaf ini memiliki aturan-aturan yang ketat. Misalnya, seseorang harus masuk masjid sejak Maghrib, pada malam 21 Ramadhan. Mereka berada di masjidnon stop selama 9 atau 10 hari, sampai malam Idul Fithri. Mereka tidak boleh keluar dari masjid, kecuali untuk urusan-urusan darurat seperti buang air, mandi, atau pengobatan mendesak. Itu pun harus segera kembali ke masjid, setelah urusannya selesai. Makan sahur dan berbuka, tidur istirahat, ganti pakaian, dll. semua dilaksanakan di masjid. Jika melanggar ketentuan itu, amal I’tikafnya dianggap batal. Tetapi yang disebut BATAL itu bukan hilangnya semua pahala amal I’tikaf-nya. Tidak demikian. Sebab Allah itu tidak menyia-nyiakan amal hamba-Nya. “Sesungguhnya Aku ini tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal dari kalian, baik laki-laki atau wanita.” (Ali Imran: 195). Tetapi I’tikaf yang dijalani orang itu tidak seperti I’TIKAF SUNNAH yang dilakukan Nabi Saw di 10 hari terakhir Ramadhan. Artinya, dia kehilangan pahala I’tikaf seperti yang Nabi, tetapi dia tetap mendapat pahala I’tikaf sesuai amal yang dilakukannya. Amal I’tikaf sekecil apapun, tetap dihargai oleh Allah Ta’ala, sebab DiaSyakirun ‘Alim (Maha Mensyukuri dan Maha Mengetahui). (Penulis blum menemukan pendapat fikih kontemporer terkait masalah ini berkaitan dg kondisi kekinian dimana umat banyak berprofesi sebagai pegawai/karyawan/dsb yang dibatasi oleh aturan jam kerja, dsb.)

[33] Pelaksanaan takbir menyambut Shalat Idul Fithri bukan dilakukan dengan begadang semalam suntuk, terus-menerus bertakbir sejak selesai Shalat Isya’ sampai datangnya Shubuh. Apalagi misalnya membaca takbir sambil membawa beduk, gendang, kentongan, bunyi-bunyian, sambil keliling kampung, diselingi dengan menyalakan petasan. Perbuatan seperti itu tidak dihitung sebagai ibadah, tetapi sebagai tradisi yang bersifat duniawi. Selagi di dalamnya tidak ada perbuatan-perbuatan yang munkar, ia dianggap perbuatan mubah. Praktik takbiran yang sesuai Sunnah adalah ketika jamaah Shalat Idul Fithri berjalan dari rumah menuju lapangan tempat Shalat Id, saat itu dia membaca takbir. Dan takbir diteruskan saat jamaah berkumpul menanti Shalat Id dilaksanakan. Ya, hanya di tempat-tempat itu Syariat bacaan takbir diterapkan. Adapun takbir sampai begadang semalam suntuk, hal ini tidak ada contohnya dari Nabi Saw.

[34] Sunnah yang penting dilaksanakan di pagi Idul Fithri (1 Syawal) adalah membatalkan puasa setelah Shalat Shubuh

[35] Hari raya Idul Fithri dan Idul Adha adalah hari raya kaum Muslimin. Disini kaum Muslimin halal bergembira ria, meskipun berlebih-lebihan. Selama mereka tidak masuk ke perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Bisa dikatakan, kegembiraan di dua hari raya Id ini seperti cerminan nikmat syurgawi yang sudah diberikan sejak di dunia. Seorang Muslim tidak akan dicela bergembira ria di dua hari raya ini. Walhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

[36] Jika Idul Fithri jatuh di hari Jum’at, kaum Muslimin melaksanakan Shalat Id di pagi harinya, maka di siang harinya mereka tidak perlu melakukan Shalat Jum’at lagi. Seseorang cukup mengikuti satu Shalat Id (atau Jum’ah) dalam sehari. Kalau mau mengikuti keduanya juga tidak apa-apa. Hanya saja, hal itu menunjukkan sikap was-was dalam ibadah dan tidak mencerminkan sikap orang ‘alim. Bahkan seperti orang yang tidak meyakini bahwa Allah memiliki Kemurahan-kemurahan di atas ibadah hamba-hamba-Nya. Dalam beberapa riwayat disebutkan tentang perbuatan Abdullah bin Zubair Ra. Saat beliau memimpin Madinah, pernah hari raya jatuh di hari Jum’at. Setelah melaksanan Shalat ‘Id pagi hari, beliau tidak mengadakan Shalat Jum’at lagi. Ketika hal itu disampaikan kepada Ibnu Abbas Ra, beliau membenarkan perbuatan Abdullah bin Zubair dan menyebut hal itu sesuai Sunnah. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Demikian, sekian banyak kemudahan-kemudahan dalam ibadah di bulan Ramadhan dan Idul Fithri. Hal ini menjadi bukti besar firman Allah: “Yuridullahu bi kumul yusra, wa laa yuridu bi kumul ‘usr” (Allah menginginkan kemudahan bagi kalian, Dia tidak menginginkan kesulitan bagi kalian. Al Baqarah: 185). Kaidah-kaidah kemudahan itu benar-benar ditampakkan dalam ibadah Ramadhan ini. Mungkin bisa dikatakan, “syurganya kemudahan” ada dalam ibadah ini.

Hanya saja, kita harus bersikap adil. Terima kemudahan-kemudahan itu dengan syukur dan keyakinan atas Kemurahan Allah. Tetapi jangan memudah-mudahkan sesuatu yang tidak diberi ruang kemudahan di dalamnya. Jangan bersikap “sok shalih” dengan menutup mata terhadap kemudahan-kemudahan yang diberikan. Tetapi jangan pula kehilangan sikap kehati-hatian saat menunaikan amal-amal ibadah. Prinsipnya adalah sikap moderat (tawasuth), tidak memberat-beratkan diri (tafrith), dan tidak pula memudah-mudahkan urusan ibadah (ifrath).

Dengan begitu luasnya karunia Allah ini, tidak salah jika di akhir bukan Ramadhan, Allah Ta’ala mensyariatkan bacaan takbir: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaha illallah, Huwallahu Akbar. Allahu Akbar walillahil hamdu.” Bacaan ini mencerminkan Keagungan Allah yang sangat luas Rahmat-Nya kepada kaum Muslimin. Dalam Al Qur’an, “Dan agar kalian membesarkan Allah (membaca takbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, dan agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (Al Baqarah: 185).

Orang-orang yang memahami semua ini, mereka akan sadar bahwa Rabb-nya sangat Pemurah, memberi kemudahan yang luas, serta memuliakannya dengan ibadah-ibadah yang penuh barakah. Bahkan kelak semua ibadah itu akan dibalasi dengan pahala yang lebih baik. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

Akhirnya, syukran jazakumullah khair atas semua perhatian Anda semua. Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Yang benar semata dari Allah Al Haq, yang salah dari diri saya sendiri. Jika dalam risalah ini ada kebaikan dan manfaat, silakan dibantu menyebarkannya kepada kaum Muslimin yang lain. Saya menghergai setiap masukan, kritik, dan koreksi yang disampaikan. Semoga semua ini bermanfaat, dunia Akhirat. Semoga pula Allah Al ‘Azhim selalu mengampuni dan merahmati diriku, kedua ayah-ibuku, keluargaku, Anda semua, keluarga Anda, serta Ummat Islam seluruhnya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi yang mulia, Rasulullah Saw, para keluarga dan Shahabatnya. Amin Allahumma amin.
Wallahu A’lam bisshawaab.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Metode Tarjih (2)


Metode (manhaj) resmi yang dipergunakan oleh Dewan Hisbah dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan dasar utama adalah al-Quran dan Hadits shahih, dengan rumusan sebagai berikut:
Dalam ber-istidlal dengan al-Quran:
  1. Mendahulukan zhahir ayat al-Quran daripada ta'wil dan memilih cara-cara tafwidh dalam halhal yang menyangkut masalah i'tiqadiyah.
  2. Menerima dan meyakini isi kandungan al-Quran sekalipun tampaknya bertentangan dengan 'aqly dan 'ady, seperti masalah Isra dan Mi'raj.
  3. Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi kecuali jika ada alasan (qarinah), seperti kalimat: "Aw lamastumun nisa" dengan pengertian bersetubuh.
  4. Apabila ayat al-Quran bertentangan dengan Hadits, didahulukan ayat al-Quran sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih, seperti hal menghajikan orang lain.
  5. Menerima adanya nasikh dalam al-Quran dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskh al-kulli).
  6. Menerima tafsir para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran (tidak hanya penafsiran ahl al-bait) dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan sahabat.
  7. Mengutamakan tafsir bi al-Ma'tsur daripada bi ar-Ra'yi. Menerima Hadits-Hadits sebagai bayan terhadap al-Quran, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.
Dalam ber-istidlal dengan Hadits:
  1. Menggunakan Hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
  2. Menerima Kaidah: Al-haditsu aldhaifatu yaqwa ba'duha ba'-dhan, jika kedha'ifan hadits tersebut dari segi hafalan perawi (dhabth) dan tidak bertentangan dengan al-Quran atau Hadits lain yang shahih. Adapun jika kedha'ifan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-rawi), maka kaidah tersebut tidak dipakai.
  3. Tidak menerima Ka'idah: Al-haditsu al-dha'ifu ya'malu fi fadhail al-'amali, karena yang menunjukkan fadha'il al-'amal dalam Hadits shahih pun cukup banyak.
  4. Menerima Hadits shahih sebagai tasyri' yang mandiri, sekalipun bukan merupakan bayan al-Quran.
  5. Menerima hadits Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas hadits tersebut shahih.
  6. Hadits Mursal Shahabi dan Mauquf bi Hukm al-Marfu' dipakai sebagai hujjah selama sanad Hadits tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan Hadits lain yang shahih.
  7. Hadits Mursal Tabi'i dijadikan hujjah apabila Hadits tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittishal) Hadits tersebut.
  8. Menerima kaidah: Al-jarh muqaddamun 'ala al-ta'dil dengan ketentuan sebagai berikut:
    • Jika yang men-jarh menjelaskan jarh-nya (mubayan al-sabab), maka jarh didahulukan daripada ta'dil.
    • Jika yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, maka ta'dil didahulukan daripada jarh.
    • Bila yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, tapi tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqat, maka jarh-nya bisa diterima.
  9. Menerima kaidah tentang sahabat: Al-sahabatu kulluhum 'udul.
  10. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima, jika menerangkan bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas shigat tahamul-nya menunjukkan ittishal, seperti menggunakan kata: hadzatsani.
Adapun dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak ditemukan nashnya yang tegas (sharih) dalam al-Quran dan al-Hadits, ditempuh dengan cara ijtihad jama'i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
  1. Tidak menerima ijma' secara mutlak dalam masalah ibadah kecuali ijma' sahabat.
  2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam ibadah ghair mahdlah, qiyas diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.
  3. Dalam memecahkan ta'arud al-'adilah diupayakan dengan cara:
    1) Thariqat al-jami', selama masih mungkin di-jam'u.
    2) Thariqat at-tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, mialnya:
    a) Mendahulukan al-Mutsbit daripada an-Nafi.
    b) Mendahulukan hadits-hadits riwayat shahihain daripada diluar shahihain.
    c) Dalam masalah-masalah tertentu, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
    lebih didahulukan daripada riwayat Bukhari, seperti dalam hal
    pernikahan Nabi dengan Maemunah.
    d) Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid'ah lebih
    didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.
    3) Thariqat an-naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang
    kemudian.
  4. Dalam membahas masalah ijtihad, Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para fuqaha.
  5. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri padasuatu madzhab, tetapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam rumusan-rumusan ini, dijelaskan pula catatan penting, antara lain bahwa sekalipun para ulama Persatuan Islam telah sepakat dengan metode tersebut, namun belum tentu hasil ijtihadnya sama, karena masih bergantung kepada ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam mengambil suatu keputusan dan meninjau dari berbagai sudut pandang. Untuk itu, dalam musyawarah diperlukan jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain, dan rela menerima koreksi andai kata hasil ijtihadnya keliru.
(Sumber : Pandangan Keagamaan PERSATUAN ISLAM Sejarah, Pemikiran, dan Fatwa Ulamanya; Cetakan I, Juni 2005/Rabiuts Tsani 1426 H. Badri Khaeruman, Drs. M.Ag. Granada)

Hujjah yang menggunakan Hisab

oleh Inamul Haqqi Hasan
Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakaimetode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyatdalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan halini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidakpatuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikutiRasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalanganMuhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karenaberpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karenamelihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulanterhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’bantigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan jugacontoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulahyang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yangtidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuhmemakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang saya ringkaskan darimakalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalampengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal,yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariahbaru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsiatau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saatmatahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapaMuhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalahmenggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredarmenurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedarmenginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pastisehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untukmenghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkanbahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisabmengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilatperintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi,tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskanoleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dantidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yaknikadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jikaada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. MuhammadSyakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafimurni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariahadalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orangmengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidakbisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karenatanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironibesar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpaduyang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapatsuatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukanawal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbedamemulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyatpada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang samaada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapatmerukyat.  Kawasan bumi di atas lintangutara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidaknormal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atauterlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasanlingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelahtimur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknyalebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulanQamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zamantengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat ituberlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan denganfakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalamikemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalahpelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasansebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu haridengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapatmenyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafahkarena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung baratitu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkahpadahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalendermenjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapatmemberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itutidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistemwaktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangihisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk PengkajianPerumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: parapeserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaanterhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaanhisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Hujjah yg menolak Hisab

Oleh: Syaikh Abdul Aziz Ar Rays
بسم الله الرحمن الرحيم
 Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Amma Ba’du,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Agama Islam itu telah ditetapkan oleh Allah yang memiliki sifat Al Hakim dan Al Alim. Sebagaimana firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. An Naml: 6)
Dan juga firman-Nya:
وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Az Zukhruf: 84)
Allah Ta’ala juga berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At Tiin: 8)
yang sulit menurut kita untuk dikerjakan, tetap harus dikerjakan. Yang mudah pun demikian. Karena kita ini hanyalah hamba, dan seorang hamba sepatutnya mengikuti keinginan sayyid-nya, dalam hal ini adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Abdullah bin Syukhair Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السيد الله تبارك تعالى
As Sayyid adalah Allah Tabaaraka Wa Ta’ala
Dua Metode Yang Ditetapkan Syari’at
Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
  1. Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu
Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu , Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
  1. Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً
(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”
Para Ulama Telah Ber-Ijma
Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:
Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas
Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.
Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan:
ولم يتعلق أحد من فقهاء المسلمين – فيما علمت – باعتبار المنازل في ذلك ، وإنما هو شيء روي عن مطرف بن الشخير وليس بصحيح عنه – والله أعلم – ولو صح ما وجب اتباعه لشذوذه ولمخالفة الحجة له ، وقد تأول بعض فقهاء البصرة في معنى قوله في الحديث فاقدروا له – نحو ذلك . والقول فيه واحد ، وقال ابن قتيبة في قوله: فاقدروا له . أي فقدروا السير والمنازل وهو قول قد ذكرنا شذوذه ومخالفة أهل العلم له ، وليس هذا من شأن ابن قتيبة ، ولا هو ممن يعرج عليه في هذا الباب
“Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahu’alam. Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutaba’ah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits فاقدروا له (‘Perkirakanlah’), maksudnya adalah ‘perkirakanlah sekitar itu‘. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna فاقدروا له adalah ‘perkirakanlah orbit dan posisi bulan‘, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih)”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
Beberapa Syubhat
Ada beberapa syubhat yang cukup berpengaruh dalam hal ini, dan sepatutnya kita tidak tertipu olehnya karena syubhat semestinya dikembalikan kepada yang muhkam (jelas). Demikianlah metode para ahli ilmu yang dipuji oleh Allah, berbeda dengan orang yang memiliki penyakit hati di dalamnya, sebagaimana firman Allah:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. Al Imran: 7)
Berkaitan dengan ayati ini, Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya, I’laamul Muwaqqi’in, memberikan 99 permisalan. Silakan membacanya karena sangat bermanfaat dalam hubungannya dengan pembahasan ini. Adapun syuhbat-syubhat tersebut ialah:
Syubhat pertama, metode hisab falaki itu lebih akurat daripada ru’yah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal.
Jawaban terhadap syubhat ini, yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagai patokan adalah penglihatan kita terhadap hilal, bukan posisi aktual (waqi’ al haal) dari hilal. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
Mafhum mukhalafah dari hadits ini, jika kita tidak melihat hilal maka tidak puasa, itulah yang diperintahkan. Adapun orang yang menggunakan hisab falaki, mereka mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah dan tidak diisyaratkan oleh Allah sedikit pun. Padahal Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan, andaikan Allah Ta’ala menginginkan hisab falaki digunakan dalam hal ini, tentu Allah akan mengisyaratkan dalam dalil. Namun nyatanya dalil-dalil yang ada tidak ada yang mengisyaratkan demikian.
Taruhlah, andaikan sinar bintang muncul bertepatan di tempat seharusnya hilal muncul, lalu orang-orang melihatnya dan mengira itu hilal. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani manusia kecuali sebatas apa yang dilihat dan menjadi dugaan kuat bahwa itu hilal. Para sahabat pun dahulu ketika melihat hilal dari tempat mereka, sangat mungkin yang mereka lihat terkadang meteor atau sinar bintang, namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tetap menjadikan penglihatan itu sebagai patokan. Inilah syariat Islam yang mudah dan gamblang, yang syariat ini pun telah menjelaskan bahwa jika hilal tidak terlihat maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, selesai. Lalu mengapa menolak hukum Allah ini dengan aturan lain yaitu metode hisab falaki?
Syubhat kedua, hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.
Jawabannya, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.
Syubhat ketiga, hisab falaki dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa dilihat ataukah tidak
Jawabannya, syari’at hanya memerintahkan kita untuk melihat hilal. Jika kita melihat hilal, maka kita puasa. Jika tidak maka tidak. Kita tidak diperintahkan lebih dari itu, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.
Waspada Terhadap Pendapat Nyeleneh
Telah kami jelaskan tentang tidak bolehnya menggunakan hisab falaki dalam menentukan awal Ramadhan, serta kami jelaskan pula bahwa pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat yang nyeleneh, bertentangan dengan ijma’ ulama. Dan salah satu ciri pendapat nyeleneh adalah bertentangan dengan ijma’ ulama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri pendapat nyeleneh serta memilih pendapat yang sesuai dengan kaidah syar’iyyah, agar terhindar dari budaya ikut-ikutan, salah kaprah, atau ganatik golongan.
Jika permasalahan agama tidak mengikuti kaidah syar’iyyah, manusia menjadi goncang. Terkadang membuat mereka berbuat bid’ah dan terkadang membuat mereka berlebih-lebihan dari syar’iat. Misalnya masalah yang kita bahas ini, menggunakan hisab falaki adalah nyeleneh dan bertentangan dengan ijma‘. Namun, sebagian orang mencoba membuat pendapat nyeleneh ini menjadi nampak biasa, yaitu membandingkannya dengan masalah pembolehan melempar jumrah sebelum matahari terbit pada tanggal 12 Dzulhijjah di Mina. Padahal pembolehan ini tidak bertentangan dengan ijma‘, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf seperti Al Fakihi dari Abdullah bin Zubair Radhiallahu’anhuma. Demikian juga pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.
Khilafiyah Seputar Ru’yah Hilal
Adapun kaitannya dengan hukum seputar ru’yah hilal, para ulama berselisih pendapat mengenai apakah ru’yah hilal penduduk suatu negeri juga berlaku bagi seluruh negeri yang lain ataukah hanya bagi negeri itu sendiri. Yang lebih kuat, wallahu’alam, ru’yah hilal setiap negeri berlaku bagi negeri itu sendiri saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Kuraib, ia berkata:
دمت الشام ، واستهل علي هلال رمضان ، وأنا بالشام ، فرأينا الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر ، فسألني ابن عباس ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ قلت: رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته ليلة الجمعة؟ قلت: نعم ، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية . فقال: لكن رأيناه ليلة السبت ، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه . فقلت: ألا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Saya datang ke Syam, lalu melihat hilal bulan Ramadhan ketika saya di sana. Kami melihat hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan. Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal: ‘Kapan engkau melihat hilal?’. Saya katakan: ‘Kami di Syam melihatnya pada malam Jum’at’. Ibnu Abbas berkata: ‘Engkau melihatnya malam Jum’at?’. Kujawab: ‘Ya, orang-orang melihatnya kemudian berpuasa, dan Mu’awiyah pun berpuasa’. Ia berkata lagi: Tapi orang-orang di sini melihatnya pada malam Sabtu. Kami tidak puasa hingga sya’ban genap 30 hari atau karena kami melihatnya’. Aku berkata kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan berpuasa bersama mereka (penduduk Syam)?’. Ia menjawab: ‘Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam’”.
Dari atsar ini bisa kita lihat bahwa penduduk Syam berpuasa mengikuti pemerintah mereka sendiri, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu’anhuma. Sedangkan penduduk Madinah berpuasa mengikuti pemerintah mereka, yaitu Ali bin Abi Thalin Radhiallahu’anhu. Ini juga merupakan pendapat Al Qasim bin Muhammad, Ikrimah, Ishaq bin Rahawaih dan yang lainnya.
Dengan demikian, setiap penduduk suatu negeri berpuasa mengikuti ru’yah masing-masing negerinya. Jika mereka tidak bisa melihat hilal, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Adapun jika negara mereka menggunakan acuan metode hisab falaki, maka penetapan awal Ramadhan yang demikian tidak dianggap. Kaum muslimin di negara itu dianggap tidak melihat hilal sehingga hendaknya mereka menggenapkan sya’ban menjadi 30 hari. Sedangkan jika tinggal di negeri kafir, hendaknya mereka membentuk sebuah lembaga atau tim yang menjadi rujukan untuk melakukan ru’yah. Kemudian kaum muslimin di sana beracuan pada ketetapan dan hasil ru’yah dari tim atau lembaga ini, dengan syarat tim ini haruslah menggunakan ru’yah syar’iyyah. Jika tidak ada tim atau lembaga semacam ini, hendaknya mereka menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Beberapa Fatwa Ulama
Berikut ini beberapa fatwa dari para ulama di masa ini seputar hal yang kita bicarakan:
Fatwa Lajnah Ad Da’imah Saudi Arabia (10/104) :
ولم يكلفنا معرفة بدء الشهر القمري بما لا يعرفه إلا النزر اليسير من الناس، وهو علم النجوم، أو علم الحساب الفلكي، وبهذا جاءت نصوص الكتاب والسنة بجعل رؤية الهلال ومشاهدته أمارة على بدء صوم المسلمين شهر رمضان، والإفطار منه برؤية هلال شوال، وكذلك الحال في ثبوت عيد الأضحى ويوم عرفات قال الله تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }وقال تعالى :{ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ }وقال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين » فجعل عليه الصلاة والسلام الصوم لثبوت رؤية هلال شهر رمضان، والإفطار منه لثبوت رؤية هلال شوال، ولم يربط ذلك بحساب النجوم وسير الكواكب، وعلى هذا جرى العمل زمن النبي صلى الله عليه وسلم وزمن الخلفاء الراشدين والأئمة الأربعة والقرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وسلم بالفضل والخير، فالرجوع في إثبات لشهور القمرية إلى علم النجوم في بدء العبادات والخروج منها دون الرؤية من البدع التي لا خير فيها، ولا مستند لها من الشريعة
“Dalam mengetahui awal bulan hijriah, kita tidak dibebani dengan sesuatu yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia saja, yaitu ilmu astronomi atau hisab falaki. Oleh karena itu, dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan puasa, juga dalam penentuan hari lebaran, dengan melihat hilal Syawal. Hal ini juga berlaku dalam penentuan Idul Adha dan hari Arafah. Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu‘ (QS. Al Baqarah: 185)
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji‘ (QS. Al Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak tampak, genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan Ramadhan, dan menetepkan Idul Fitri dengan ru’yah hilal syawal. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak mengkaitkannya dengan perhitungan astronomis atau perjalanan bintang-bintang. Oleh karena itulah, yang diamalkan pada masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, masa khulafa ar rasyidin, pada masa imam empat mazhab juga pada masa salafus shalih adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tentu lebih utama dan lebih baik. Adapun, menjadikan ilmu astronomi sebagai acuan untuk menentukan awal dimulainya suatu ibadah dan berakhirnya, ini adalah bid’ah yang sama sekali tidak memiliki kebaikan, dan tidak memiliki sandaran hukum dalam syari’at”
Juga fatwa Lajnah Ad Daimah yang lain (3127):
لا يعتبر الحساب الفلكي أصلا يثبت به بدء صيام شهر رمضان ونهايته، بل المعتبر في ذلك رؤية الهلال، فإن لم يروا هلال رمضان ليلة ثلاثين من شعبان أكملوا شعبان ثلاثين يوما من تاريخ رؤيته أول الشهر، وكذا إذا لم يروا هلال شوال ليلة ثلاثين من رمضان أكملوا عدة رمضان ثلاثين يوما
Hisab falaki jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan, yang demikian tidak teranggap. Yang dianggap adalah menggunakan ru’yah hilal, dan jika hilal tidak nampak pada malam ke 30, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari dihitung dari tanggal 1 Sya’ban. Demikian juga jika hilal syawal tidak terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari”.
Syaikh Al Allamah ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, sebagaimana yang tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau (15/110), berkata:
ومن هذا يتبين أن المعول عليه في إثبات الصوم والفطر وسائر الشهور هو الرؤية، أو إكمال العدة، ولا عبرة شرعا بمجرد ولادة القمر في إثبات الشهر القمري بدءا وانتهاء بإجماع أهل العلم المعتد بهم ، ما لم تثبت رؤيته شرعا. وهذا بالنسبة لتوقيت العبادات، ومن خالف في ذلك من المعاصرين فمسبوق بإجماع من قبله وقوله مردود ؛ لأنه لا كلام لأحد مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا مع إجماع السلف. أما حساب سير الشمس والقمر فلا يعتبر في هذا المقام ؛ لما ذكرنا آنفا ، ولما يأتي:
أ- أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالصوم لرؤية الهلال والإفطار لها في قوله: « صوموا لرؤيته وأفطروارؤيته » وحصر ذلك فيها بقوله: « لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
وأمر المسلمين إذا كان غيم ليلة الثلاثين أن يكملوا العدة، ولم يأمر بالرجوع إلى علماء النجوم. ولو كان قولهم هو الأصل وحده، أو أصلا آخر مع الرؤية في إثبات الشهر لبين ذلك. فلما لم ينقل ذلك ، بل نقل ما يخالفه ، دل ذلك على أنه لا اعتبار شرعا لما سوى الرؤية، أو إكمال العدة ثلاثين في إثبات الشهر، وأن هذا شرع مستمر إلى يوم القيامة. قال الله تعالى : { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }
ودعوى أن الرؤية في الحديث يراد بها العلم، أو غلبة الظن بوجود الهلال، أو إمكان رؤيته لا التعبد بنفس الرؤية مردودة ؛ لأن الرؤية في الحديث متعدية إلى مفعول واحد ، فكانت بصرية لا علمية، ولأن الصحابة فهموا أنها رؤية بالعين، وهم أعلم باللغة ومقاصد الشريعة من غيرهم. وإن تعليق إثبات الشهر القمري بالرؤية يتفق مع مقاصد الشريعة السمحة ؛ لأن رؤية الهلال أمرها عام يتيسر لأكثر الناس من العامة والخاصة في الصحاري والبنيان ، بخلاف ما لو علق الحكم بالحساب فإنه يحصل به الحرج ويتنافى مع مقاصد الشريعة؛ لأن أغلب الأمة لا يعرف الحساب، ودعوى زوال وصف الأمية بعلم النجوم عن الأمة غير مسلمة
“Dari sini, jelaslah sudah bahwa yang menjadi acuan dalam penentuan awal bulan puasa dan lebaran, juga bulan-bulan lainnya adalah ru’yah. Sedangkan kemunculan bulan baru secara aktual tanpa menggunakan ru’yah syar’iyyah tidaklah teranggap, ini berdasarkan ijma‘ para ulama yang dijadikan pegangan ummat. Ini dalam hal penetapan waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah. Adapun sebagian orang dimasa ini yang engga memakai ru’yah, ijma‘ ulama menjadi jawaban bagi mereka. Karena tidak boleh ada yang mendebat sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak boleh ada yang mendebat ijma‘ salaf. Perjalanan matahari atau bulan dalam hal ini tidak teranggap karena sebab yang kami sebutkan barusan, dan juga beberapa sebab lain yaitu:
Pertama, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita berpuasa jika melihat hilal dan berlebaran jika melihat hilal, dalam sabda beliau
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
Lalu beliau menafsirkan sendiri perkataan beliau:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه
Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berlebaran hingga kalian melihat hilal
Kedua, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita, jika langit tertutup awan pada malam ke 30 sya’ban, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Beliau tidak memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ahli astronomi. Andaikata, hasil perhitungan dari ahli astronomi itu sudah cukup untuk menetapkan bulan puasa dan lebaran, atau andaikan perhitungan ini dijadikan bahan pertimbangan lain selain ru’yah, tentu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentu akan menjelaskannya. Selama tidak ada riwayat yang menyatakan demikian, maka selain metode ru’yah dan penggenapan bulan tidaklah teranggap secara syar’i. Karena aturan agama yang sudah ada itu terus berlaku hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan Rabb-mu itu tidak pernah lupa‘ (QS. Maryam: 64)
Ketiga, anggapan bahwa yang dimaksud ru’yah hilal dalam hadits di atas maknanya adalah ‘mengetahui hilal’ atau sangkaan kuat mengenai kemunculan hilal, dan ru’yah (melihat) di sini bukanlah esensi yang diperintahkan, anggapan ini tertolak. Karena ru’yah dalam hadits ini adalah fi’il muta’addi yang mengacu pada satu maf’ul saja, yang menunjukkan makna ‘penglihatan’ bukan ‘pengilmuan’. Para sahabat Nabi sangat paham sekali bahwa yang disebut ru’yah itu menggunakan mata. Dan merekalah yang paling paham terhadap bahasa arab dan maqashid syar’iyyah dibanding orang yang lain. Justru perintah ru’yah hilal lebih pas dengan maqashid syar’iyyah bahwa Islam itu agama yang mudah. Karena ru’yah hilal itu diperintahkan kepada umat muslim secara umum, yang dapat dengan mudah dilakukan oleh orang-orang, baik yang di gurun maupun di gedung-gedung. Berbeda keadaanya jika hisab falaki yang menjadi acuan, akan menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan maqashid syar’iyyah. Karena umumnya manusia tidak paham ilmu astronomi. Lebih lagi klaim bahwa orang zaman sekarang sudah tidak awam lagi terhadap ilmu astronomi, klaim tersebut berasal dari orang-orang non-muslim”
Aku memohon kepada Allah agar melimpahkan nikmat-Nya dengan diizinkannya kami bertemu Ramadhan dan aku memohon agar kita semua dijadikan hamba yang dapat menegakkan shalat malam dan berpuasa karena iman dan mengaharap pahala.
Abdul Aziz Ar Rays
Pengasuh situs http://islamancient.com
28 / 8 / 1431هـ
Sumber: http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id