Sabtu, 06 Agustus 2011

Metode Tarjih (2)


Metode (manhaj) resmi yang dipergunakan oleh Dewan Hisbah dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan dasar utama adalah al-Quran dan Hadits shahih, dengan rumusan sebagai berikut:
Dalam ber-istidlal dengan al-Quran:
  1. Mendahulukan zhahir ayat al-Quran daripada ta'wil dan memilih cara-cara tafwidh dalam halhal yang menyangkut masalah i'tiqadiyah.
  2. Menerima dan meyakini isi kandungan al-Quran sekalipun tampaknya bertentangan dengan 'aqly dan 'ady, seperti masalah Isra dan Mi'raj.
  3. Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi kecuali jika ada alasan (qarinah), seperti kalimat: "Aw lamastumun nisa" dengan pengertian bersetubuh.
  4. Apabila ayat al-Quran bertentangan dengan Hadits, didahulukan ayat al-Quran sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih, seperti hal menghajikan orang lain.
  5. Menerima adanya nasikh dalam al-Quran dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskh al-kulli).
  6. Menerima tafsir para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran (tidak hanya penafsiran ahl al-bait) dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan sahabat.
  7. Mengutamakan tafsir bi al-Ma'tsur daripada bi ar-Ra'yi. Menerima Hadits-Hadits sebagai bayan terhadap al-Quran, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.
Dalam ber-istidlal dengan Hadits:
  1. Menggunakan Hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
  2. Menerima Kaidah: Al-haditsu aldhaifatu yaqwa ba'duha ba'-dhan, jika kedha'ifan hadits tersebut dari segi hafalan perawi (dhabth) dan tidak bertentangan dengan al-Quran atau Hadits lain yang shahih. Adapun jika kedha'ifan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-rawi), maka kaidah tersebut tidak dipakai.
  3. Tidak menerima Ka'idah: Al-haditsu al-dha'ifu ya'malu fi fadhail al-'amali, karena yang menunjukkan fadha'il al-'amal dalam Hadits shahih pun cukup banyak.
  4. Menerima Hadits shahih sebagai tasyri' yang mandiri, sekalipun bukan merupakan bayan al-Quran.
  5. Menerima hadits Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas hadits tersebut shahih.
  6. Hadits Mursal Shahabi dan Mauquf bi Hukm al-Marfu' dipakai sebagai hujjah selama sanad Hadits tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan Hadits lain yang shahih.
  7. Hadits Mursal Tabi'i dijadikan hujjah apabila Hadits tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittishal) Hadits tersebut.
  8. Menerima kaidah: Al-jarh muqaddamun 'ala al-ta'dil dengan ketentuan sebagai berikut:
    • Jika yang men-jarh menjelaskan jarh-nya (mubayan al-sabab), maka jarh didahulukan daripada ta'dil.
    • Jika yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, maka ta'dil didahulukan daripada jarh.
    • Bila yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, tapi tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqat, maka jarh-nya bisa diterima.
  9. Menerima kaidah tentang sahabat: Al-sahabatu kulluhum 'udul.
  10. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima, jika menerangkan bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas shigat tahamul-nya menunjukkan ittishal, seperti menggunakan kata: hadzatsani.
Adapun dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak ditemukan nashnya yang tegas (sharih) dalam al-Quran dan al-Hadits, ditempuh dengan cara ijtihad jama'i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
  1. Tidak menerima ijma' secara mutlak dalam masalah ibadah kecuali ijma' sahabat.
  2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam ibadah ghair mahdlah, qiyas diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.
  3. Dalam memecahkan ta'arud al-'adilah diupayakan dengan cara:
    1) Thariqat al-jami', selama masih mungkin di-jam'u.
    2) Thariqat at-tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, mialnya:
    a) Mendahulukan al-Mutsbit daripada an-Nafi.
    b) Mendahulukan hadits-hadits riwayat shahihain daripada diluar shahihain.
    c) Dalam masalah-masalah tertentu, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
    lebih didahulukan daripada riwayat Bukhari, seperti dalam hal
    pernikahan Nabi dengan Maemunah.
    d) Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid'ah lebih
    didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.
    3) Thariqat an-naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang
    kemudian.
  4. Dalam membahas masalah ijtihad, Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para fuqaha.
  5. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri padasuatu madzhab, tetapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam rumusan-rumusan ini, dijelaskan pula catatan penting, antara lain bahwa sekalipun para ulama Persatuan Islam telah sepakat dengan metode tersebut, namun belum tentu hasil ijtihadnya sama, karena masih bergantung kepada ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam mengambil suatu keputusan dan meninjau dari berbagai sudut pandang. Untuk itu, dalam musyawarah diperlukan jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain, dan rela menerima koreksi andai kata hasil ijtihadnya keliru.
(Sumber : Pandangan Keagamaan PERSATUAN ISLAM Sejarah, Pemikiran, dan Fatwa Ulamanya; Cetakan I, Juni 2005/Rabiuts Tsani 1426 H. Badri Khaeruman, Drs. M.Ag. Granada)

Hujjah yang menggunakan Hisab

oleh Inamul Haqqi Hasan
Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakaimetode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyatdalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan halini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidakpatuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikutiRasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalanganMuhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karenaberpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karenamelihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulanterhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’bantigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan jugacontoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulahyang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yangtidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuhmemakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang saya ringkaskan darimakalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalampengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal,yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariahbaru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsiatau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saatmatahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapaMuhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalahmenggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredarmenurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedarmenginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pastisehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untukmenghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkanbahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisabmengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilatperintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi,tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskanoleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dantidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yaknikadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jikaada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. MuhammadSyakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafimurni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariahadalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orangmengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidakbisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karenatanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironibesar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpaduyang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapatsuatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukanawal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbedamemulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyatpada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang samaada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapatmerukyat.  Kawasan bumi di atas lintangutara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidaknormal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atauterlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasanlingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelahtimur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknyalebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulanQamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zamantengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat ituberlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan denganfakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalamikemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalahpelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasansebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu haridengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapatmenyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafahkarena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung baratitu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkahpadahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalendermenjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapatmemberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itutidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistemwaktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangihisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk PengkajianPerumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: parapeserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaanterhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaanhisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Hujjah yg menolak Hisab

Oleh: Syaikh Abdul Aziz Ar Rays
بسم الله الرحمن الرحيم
 Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Amma Ba’du,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Agama Islam itu telah ditetapkan oleh Allah yang memiliki sifat Al Hakim dan Al Alim. Sebagaimana firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. An Naml: 6)
Dan juga firman-Nya:
وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Az Zukhruf: 84)
Allah Ta’ala juga berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At Tiin: 8)
yang sulit menurut kita untuk dikerjakan, tetap harus dikerjakan. Yang mudah pun demikian. Karena kita ini hanyalah hamba, dan seorang hamba sepatutnya mengikuti keinginan sayyid-nya, dalam hal ini adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Abdullah bin Syukhair Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السيد الله تبارك تعالى
As Sayyid adalah Allah Tabaaraka Wa Ta’ala
Dua Metode Yang Ditetapkan Syari’at
Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
  1. Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu
Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu , Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
  1. Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً
(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”
Para Ulama Telah Ber-Ijma
Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:
Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas
Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.
Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan:
ولم يتعلق أحد من فقهاء المسلمين – فيما علمت – باعتبار المنازل في ذلك ، وإنما هو شيء روي عن مطرف بن الشخير وليس بصحيح عنه – والله أعلم – ولو صح ما وجب اتباعه لشذوذه ولمخالفة الحجة له ، وقد تأول بعض فقهاء البصرة في معنى قوله في الحديث فاقدروا له – نحو ذلك . والقول فيه واحد ، وقال ابن قتيبة في قوله: فاقدروا له . أي فقدروا السير والمنازل وهو قول قد ذكرنا شذوذه ومخالفة أهل العلم له ، وليس هذا من شأن ابن قتيبة ، ولا هو ممن يعرج عليه في هذا الباب
“Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahu’alam. Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutaba’ah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits فاقدروا له (‘Perkirakanlah’), maksudnya adalah ‘perkirakanlah sekitar itu‘. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna فاقدروا له adalah ‘perkirakanlah orbit dan posisi bulan‘, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih)”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
Beberapa Syubhat
Ada beberapa syubhat yang cukup berpengaruh dalam hal ini, dan sepatutnya kita tidak tertipu olehnya karena syubhat semestinya dikembalikan kepada yang muhkam (jelas). Demikianlah metode para ahli ilmu yang dipuji oleh Allah, berbeda dengan orang yang memiliki penyakit hati di dalamnya, sebagaimana firman Allah:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. Al Imran: 7)
Berkaitan dengan ayati ini, Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya, I’laamul Muwaqqi’in, memberikan 99 permisalan. Silakan membacanya karena sangat bermanfaat dalam hubungannya dengan pembahasan ini. Adapun syuhbat-syubhat tersebut ialah:
Syubhat pertama, metode hisab falaki itu lebih akurat daripada ru’yah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal.
Jawaban terhadap syubhat ini, yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagai patokan adalah penglihatan kita terhadap hilal, bukan posisi aktual (waqi’ al haal) dari hilal. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
Mafhum mukhalafah dari hadits ini, jika kita tidak melihat hilal maka tidak puasa, itulah yang diperintahkan. Adapun orang yang menggunakan hisab falaki, mereka mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah dan tidak diisyaratkan oleh Allah sedikit pun. Padahal Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan, andaikan Allah Ta’ala menginginkan hisab falaki digunakan dalam hal ini, tentu Allah akan mengisyaratkan dalam dalil. Namun nyatanya dalil-dalil yang ada tidak ada yang mengisyaratkan demikian.
Taruhlah, andaikan sinar bintang muncul bertepatan di tempat seharusnya hilal muncul, lalu orang-orang melihatnya dan mengira itu hilal. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani manusia kecuali sebatas apa yang dilihat dan menjadi dugaan kuat bahwa itu hilal. Para sahabat pun dahulu ketika melihat hilal dari tempat mereka, sangat mungkin yang mereka lihat terkadang meteor atau sinar bintang, namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tetap menjadikan penglihatan itu sebagai patokan. Inilah syariat Islam yang mudah dan gamblang, yang syariat ini pun telah menjelaskan bahwa jika hilal tidak terlihat maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, selesai. Lalu mengapa menolak hukum Allah ini dengan aturan lain yaitu metode hisab falaki?
Syubhat kedua, hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.
Jawabannya, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.
Syubhat ketiga, hisab falaki dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa dilihat ataukah tidak
Jawabannya, syari’at hanya memerintahkan kita untuk melihat hilal. Jika kita melihat hilal, maka kita puasa. Jika tidak maka tidak. Kita tidak diperintahkan lebih dari itu, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.
Waspada Terhadap Pendapat Nyeleneh
Telah kami jelaskan tentang tidak bolehnya menggunakan hisab falaki dalam menentukan awal Ramadhan, serta kami jelaskan pula bahwa pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat yang nyeleneh, bertentangan dengan ijma’ ulama. Dan salah satu ciri pendapat nyeleneh adalah bertentangan dengan ijma’ ulama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri pendapat nyeleneh serta memilih pendapat yang sesuai dengan kaidah syar’iyyah, agar terhindar dari budaya ikut-ikutan, salah kaprah, atau ganatik golongan.
Jika permasalahan agama tidak mengikuti kaidah syar’iyyah, manusia menjadi goncang. Terkadang membuat mereka berbuat bid’ah dan terkadang membuat mereka berlebih-lebihan dari syar’iat. Misalnya masalah yang kita bahas ini, menggunakan hisab falaki adalah nyeleneh dan bertentangan dengan ijma‘. Namun, sebagian orang mencoba membuat pendapat nyeleneh ini menjadi nampak biasa, yaitu membandingkannya dengan masalah pembolehan melempar jumrah sebelum matahari terbit pada tanggal 12 Dzulhijjah di Mina. Padahal pembolehan ini tidak bertentangan dengan ijma‘, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf seperti Al Fakihi dari Abdullah bin Zubair Radhiallahu’anhuma. Demikian juga pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.
Khilafiyah Seputar Ru’yah Hilal
Adapun kaitannya dengan hukum seputar ru’yah hilal, para ulama berselisih pendapat mengenai apakah ru’yah hilal penduduk suatu negeri juga berlaku bagi seluruh negeri yang lain ataukah hanya bagi negeri itu sendiri. Yang lebih kuat, wallahu’alam, ru’yah hilal setiap negeri berlaku bagi negeri itu sendiri saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Kuraib, ia berkata:
دمت الشام ، واستهل علي هلال رمضان ، وأنا بالشام ، فرأينا الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر ، فسألني ابن عباس ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ قلت: رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته ليلة الجمعة؟ قلت: نعم ، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية . فقال: لكن رأيناه ليلة السبت ، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه . فقلت: ألا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Saya datang ke Syam, lalu melihat hilal bulan Ramadhan ketika saya di sana. Kami melihat hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan. Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal: ‘Kapan engkau melihat hilal?’. Saya katakan: ‘Kami di Syam melihatnya pada malam Jum’at’. Ibnu Abbas berkata: ‘Engkau melihatnya malam Jum’at?’. Kujawab: ‘Ya, orang-orang melihatnya kemudian berpuasa, dan Mu’awiyah pun berpuasa’. Ia berkata lagi: Tapi orang-orang di sini melihatnya pada malam Sabtu. Kami tidak puasa hingga sya’ban genap 30 hari atau karena kami melihatnya’. Aku berkata kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan berpuasa bersama mereka (penduduk Syam)?’. Ia menjawab: ‘Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam’”.
Dari atsar ini bisa kita lihat bahwa penduduk Syam berpuasa mengikuti pemerintah mereka sendiri, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu’anhuma. Sedangkan penduduk Madinah berpuasa mengikuti pemerintah mereka, yaitu Ali bin Abi Thalin Radhiallahu’anhu. Ini juga merupakan pendapat Al Qasim bin Muhammad, Ikrimah, Ishaq bin Rahawaih dan yang lainnya.
Dengan demikian, setiap penduduk suatu negeri berpuasa mengikuti ru’yah masing-masing negerinya. Jika mereka tidak bisa melihat hilal, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Adapun jika negara mereka menggunakan acuan metode hisab falaki, maka penetapan awal Ramadhan yang demikian tidak dianggap. Kaum muslimin di negara itu dianggap tidak melihat hilal sehingga hendaknya mereka menggenapkan sya’ban menjadi 30 hari. Sedangkan jika tinggal di negeri kafir, hendaknya mereka membentuk sebuah lembaga atau tim yang menjadi rujukan untuk melakukan ru’yah. Kemudian kaum muslimin di sana beracuan pada ketetapan dan hasil ru’yah dari tim atau lembaga ini, dengan syarat tim ini haruslah menggunakan ru’yah syar’iyyah. Jika tidak ada tim atau lembaga semacam ini, hendaknya mereka menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Beberapa Fatwa Ulama
Berikut ini beberapa fatwa dari para ulama di masa ini seputar hal yang kita bicarakan:
Fatwa Lajnah Ad Da’imah Saudi Arabia (10/104) :
ولم يكلفنا معرفة بدء الشهر القمري بما لا يعرفه إلا النزر اليسير من الناس، وهو علم النجوم، أو علم الحساب الفلكي، وبهذا جاءت نصوص الكتاب والسنة بجعل رؤية الهلال ومشاهدته أمارة على بدء صوم المسلمين شهر رمضان، والإفطار منه برؤية هلال شوال، وكذلك الحال في ثبوت عيد الأضحى ويوم عرفات قال الله تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }وقال تعالى :{ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ }وقال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين » فجعل عليه الصلاة والسلام الصوم لثبوت رؤية هلال شهر رمضان، والإفطار منه لثبوت رؤية هلال شوال، ولم يربط ذلك بحساب النجوم وسير الكواكب، وعلى هذا جرى العمل زمن النبي صلى الله عليه وسلم وزمن الخلفاء الراشدين والأئمة الأربعة والقرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وسلم بالفضل والخير، فالرجوع في إثبات لشهور القمرية إلى علم النجوم في بدء العبادات والخروج منها دون الرؤية من البدع التي لا خير فيها، ولا مستند لها من الشريعة
“Dalam mengetahui awal bulan hijriah, kita tidak dibebani dengan sesuatu yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia saja, yaitu ilmu astronomi atau hisab falaki. Oleh karena itu, dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan puasa, juga dalam penentuan hari lebaran, dengan melihat hilal Syawal. Hal ini juga berlaku dalam penentuan Idul Adha dan hari Arafah. Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu‘ (QS. Al Baqarah: 185)
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji‘ (QS. Al Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak tampak, genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan Ramadhan, dan menetepkan Idul Fitri dengan ru’yah hilal syawal. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak mengkaitkannya dengan perhitungan astronomis atau perjalanan bintang-bintang. Oleh karena itulah, yang diamalkan pada masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, masa khulafa ar rasyidin, pada masa imam empat mazhab juga pada masa salafus shalih adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tentu lebih utama dan lebih baik. Adapun, menjadikan ilmu astronomi sebagai acuan untuk menentukan awal dimulainya suatu ibadah dan berakhirnya, ini adalah bid’ah yang sama sekali tidak memiliki kebaikan, dan tidak memiliki sandaran hukum dalam syari’at”
Juga fatwa Lajnah Ad Daimah yang lain (3127):
لا يعتبر الحساب الفلكي أصلا يثبت به بدء صيام شهر رمضان ونهايته، بل المعتبر في ذلك رؤية الهلال، فإن لم يروا هلال رمضان ليلة ثلاثين من شعبان أكملوا شعبان ثلاثين يوما من تاريخ رؤيته أول الشهر، وكذا إذا لم يروا هلال شوال ليلة ثلاثين من رمضان أكملوا عدة رمضان ثلاثين يوما
Hisab falaki jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan, yang demikian tidak teranggap. Yang dianggap adalah menggunakan ru’yah hilal, dan jika hilal tidak nampak pada malam ke 30, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari dihitung dari tanggal 1 Sya’ban. Demikian juga jika hilal syawal tidak terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari”.
Syaikh Al Allamah ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, sebagaimana yang tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau (15/110), berkata:
ومن هذا يتبين أن المعول عليه في إثبات الصوم والفطر وسائر الشهور هو الرؤية، أو إكمال العدة، ولا عبرة شرعا بمجرد ولادة القمر في إثبات الشهر القمري بدءا وانتهاء بإجماع أهل العلم المعتد بهم ، ما لم تثبت رؤيته شرعا. وهذا بالنسبة لتوقيت العبادات، ومن خالف في ذلك من المعاصرين فمسبوق بإجماع من قبله وقوله مردود ؛ لأنه لا كلام لأحد مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا مع إجماع السلف. أما حساب سير الشمس والقمر فلا يعتبر في هذا المقام ؛ لما ذكرنا آنفا ، ولما يأتي:
أ- أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالصوم لرؤية الهلال والإفطار لها في قوله: « صوموا لرؤيته وأفطروارؤيته » وحصر ذلك فيها بقوله: « لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
وأمر المسلمين إذا كان غيم ليلة الثلاثين أن يكملوا العدة، ولم يأمر بالرجوع إلى علماء النجوم. ولو كان قولهم هو الأصل وحده، أو أصلا آخر مع الرؤية في إثبات الشهر لبين ذلك. فلما لم ينقل ذلك ، بل نقل ما يخالفه ، دل ذلك على أنه لا اعتبار شرعا لما سوى الرؤية، أو إكمال العدة ثلاثين في إثبات الشهر، وأن هذا شرع مستمر إلى يوم القيامة. قال الله تعالى : { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }
ودعوى أن الرؤية في الحديث يراد بها العلم، أو غلبة الظن بوجود الهلال، أو إمكان رؤيته لا التعبد بنفس الرؤية مردودة ؛ لأن الرؤية في الحديث متعدية إلى مفعول واحد ، فكانت بصرية لا علمية، ولأن الصحابة فهموا أنها رؤية بالعين، وهم أعلم باللغة ومقاصد الشريعة من غيرهم. وإن تعليق إثبات الشهر القمري بالرؤية يتفق مع مقاصد الشريعة السمحة ؛ لأن رؤية الهلال أمرها عام يتيسر لأكثر الناس من العامة والخاصة في الصحاري والبنيان ، بخلاف ما لو علق الحكم بالحساب فإنه يحصل به الحرج ويتنافى مع مقاصد الشريعة؛ لأن أغلب الأمة لا يعرف الحساب، ودعوى زوال وصف الأمية بعلم النجوم عن الأمة غير مسلمة
“Dari sini, jelaslah sudah bahwa yang menjadi acuan dalam penentuan awal bulan puasa dan lebaran, juga bulan-bulan lainnya adalah ru’yah. Sedangkan kemunculan bulan baru secara aktual tanpa menggunakan ru’yah syar’iyyah tidaklah teranggap, ini berdasarkan ijma‘ para ulama yang dijadikan pegangan ummat. Ini dalam hal penetapan waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah. Adapun sebagian orang dimasa ini yang engga memakai ru’yah, ijma‘ ulama menjadi jawaban bagi mereka. Karena tidak boleh ada yang mendebat sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak boleh ada yang mendebat ijma‘ salaf. Perjalanan matahari atau bulan dalam hal ini tidak teranggap karena sebab yang kami sebutkan barusan, dan juga beberapa sebab lain yaitu:
Pertama, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita berpuasa jika melihat hilal dan berlebaran jika melihat hilal, dalam sabda beliau
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
Lalu beliau menafsirkan sendiri perkataan beliau:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه
Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berlebaran hingga kalian melihat hilal
Kedua, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita, jika langit tertutup awan pada malam ke 30 sya’ban, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Beliau tidak memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ahli astronomi. Andaikata, hasil perhitungan dari ahli astronomi itu sudah cukup untuk menetapkan bulan puasa dan lebaran, atau andaikan perhitungan ini dijadikan bahan pertimbangan lain selain ru’yah, tentu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentu akan menjelaskannya. Selama tidak ada riwayat yang menyatakan demikian, maka selain metode ru’yah dan penggenapan bulan tidaklah teranggap secara syar’i. Karena aturan agama yang sudah ada itu terus berlaku hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan Rabb-mu itu tidak pernah lupa‘ (QS. Maryam: 64)
Ketiga, anggapan bahwa yang dimaksud ru’yah hilal dalam hadits di atas maknanya adalah ‘mengetahui hilal’ atau sangkaan kuat mengenai kemunculan hilal, dan ru’yah (melihat) di sini bukanlah esensi yang diperintahkan, anggapan ini tertolak. Karena ru’yah dalam hadits ini adalah fi’il muta’addi yang mengacu pada satu maf’ul saja, yang menunjukkan makna ‘penglihatan’ bukan ‘pengilmuan’. Para sahabat Nabi sangat paham sekali bahwa yang disebut ru’yah itu menggunakan mata. Dan merekalah yang paling paham terhadap bahasa arab dan maqashid syar’iyyah dibanding orang yang lain. Justru perintah ru’yah hilal lebih pas dengan maqashid syar’iyyah bahwa Islam itu agama yang mudah. Karena ru’yah hilal itu diperintahkan kepada umat muslim secara umum, yang dapat dengan mudah dilakukan oleh orang-orang, baik yang di gurun maupun di gedung-gedung. Berbeda keadaanya jika hisab falaki yang menjadi acuan, akan menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan maqashid syar’iyyah. Karena umumnya manusia tidak paham ilmu astronomi. Lebih lagi klaim bahwa orang zaman sekarang sudah tidak awam lagi terhadap ilmu astronomi, klaim tersebut berasal dari orang-orang non-muslim”
Aku memohon kepada Allah agar melimpahkan nikmat-Nya dengan diizinkannya kami bertemu Ramadhan dan aku memohon agar kita semua dijadikan hamba yang dapat menegakkan shalat malam dan berpuasa karena iman dan mengaharap pahala.
Abdul Aziz Ar Rays
Pengasuh situs http://islamancient.com
28 / 8 / 1431هـ
Sumber: http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Hukum Jabat Tangan Dengan Wanita (by. Dr. Yusuf Qardhawi)

PERTANYAAN
Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang
tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap
kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak
bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau
saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang
ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya.
Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah,
atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda,
tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah
(mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara
yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur’an atau As-Sunnah
yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi
kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping
ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari
rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat
tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini
kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
Apabila ada dalil syar’inya, maka kami akan menghormatinya
dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan
kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan
kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata
hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya
fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat
dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar,
dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan
harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya
berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif.
Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan
berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan,
maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapang an yang
diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan
dan bisa menimbulkan “bencana” kalau tidak dipenuhi.
Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu
tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini,
sebab – sebagaimana saya katakan di muka – persoalan ini
bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.
Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan
memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah,
dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
JAWABAN
Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa
masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan – yang saudara tanyakan itu – merupakan masalah
yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa
dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan
pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus
bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang
telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati
acuannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga
argumentasi- argumentasinya dapat didiskusikan untuk
memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati
kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam
pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan
memperturutkan hawa nafsu.
Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin
mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan
pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran
itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu,
menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila
disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya
dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi;
penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada
hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah
wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama
bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang
pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila
disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak
tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah
barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung,
anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.
Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan
wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai
syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa
beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita
tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua
untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan
tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan
perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan
mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah
lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat
seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan
terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan
perhiasannya.
“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita …”(an-Nur: 31)
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema
pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan
tahkik.
Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya
hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya …” (an-Nur: 31)
Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak
itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan
sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti
tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka
tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara
laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab,
apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram,
apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat
daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian
adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari
kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat “kecuali yang
biasa tampak daripadanya” adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan
yang tidak disertai syahwat?
Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan
yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya
temukan.
Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari’ ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa
ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut
fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam
kondisi aman – dan ini sering terjadi – maka dimanakah letak
keharamannya?
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau
membai’at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan -
secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh,
adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti
beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi
orang yang berpendapat demikian.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat
tangan dengan kaum wanita pada waktu bai’at itu belum
disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah
al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan
dengan wanita pada waktu bai’at, berbeda dengan riwayat dari
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu
dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa
Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji
setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)
Aisyah berkata, “Maka barangsiapa diantara wanita-wanita
beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw.
berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan
saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak
menyentuh tangan wanita dalam bai’at itu; beliau tidak
membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah
membai’atmu tentang hal itu.’” 4
Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …,”
al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai
berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan
berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah
hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu
Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar,
ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin
Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah
bai’at, Ummu Athiyah berkata:
“Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah
dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian
beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah. ‘”
Demikian pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang
tersebut dalam al-Bukhari – dimana Aisyah mengatakan:
“Seorang wanita menahan tangannya”
Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai’at dengan
tangan mereka.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu
dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik
hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai’at meskipun tidak
sampai berjabat tangan… Adapun untuk yang kedua, yang
dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya
sebelum bersentuhan. .. Atau bai’at itu terjadi dengan
menggunakan lapis tangan.
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa
Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain
selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di
atas tangan beliau, seraya berkata,
“Aku tidak berjabat dengan wanita.”
Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw.
memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.
Ibnu Hajar berkata: “Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni
peristiwa bai’at itu terjadi lebih dari satu kali,
diantaranya ialah bai’at yang terjadi di mana beliau tidak
menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan
lapis maupun tidak, beliau membai’at hanya dengan perkataan
saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada
kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan
wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang
diriwayatkan oleh asy-Sya’bi.”
Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan
Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada
lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan
Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.
Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan
berulang-ulangnya bai’at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan
bai’at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah
terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu
Athiyah – secara lahiriah – membicarakan yang lebih umum
daripada itu dan meliputi bai’at wanita mukminah secara
umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu
Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari
memasukkan hadits Aisyah di bawah bab “Idzaa Jaa aka
al-Mu’minaat Muhaajiraat, ” sedangkan hadits Ummu Athiyah
dimasukkan dalam bab “Idzaa Jaa aka al- Mu’minaat
Yubaayi’naka. ”
Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan
acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan – yaitu bahwa Nabi
saw. tidak berjabat tangan dengan wanita – belumlah
disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak
merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan
masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.
Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat
tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani
dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau
bersabda:
“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu
dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh
wanita yang tidak halal baginya.”5
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
pengambilan hadits di atas sebagai dalil:
1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas
akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti
al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan,
“Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau
perawi-perawi sahih.”
Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan
kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan
terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat
‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak
diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang
masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu
yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan
bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan
dalil qath’i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti
Al-Qur’anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur.
Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada
kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan
hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka
bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?
3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat
digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati
petunjuknya tidak jelas. Kalimat “menyentuh kulit wanita
yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata
bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana
yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata
al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup digunakan
dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan
biologis (jima’) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam
menafsirkan firman Allah: “Laamastum an-Nisat” (Kamu
menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, “Lafal al-lams,
al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur’an dipakai sebagai
kiasan untuk jima’ (hubungan seksual). Secara umum,
ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata al-mass
menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman
Allah yang diucapkan Maryam:
“Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun …” (Ali Imran:
47)
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh
mereka…” (al-Baqarah: 237)
Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati
istri-istrinya tanpa menyentuhnya ….
b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah
kategori jima’, seperti mencium, memeluk, merangkul, dan
lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’ (hubungan
seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam
menafsirkan makna kata mulaamasah.
Al-Hakim mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam
al-Mustadrak ‘al a ash-Shahihaini sebagai berikut :
Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan
hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih
yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan)
dibawah jima’:
(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:
“Tangan, zinanya ialah menyentuh… ”
(2) Hadits Ibnu Abbas:
“Barangkali engkau menyentuhnya. ..?”
(3) Hadits lbnu Mas’ud:
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang)…”6
Al-Hakim berkata, “Dan masih ada beberapa hadits sahih pada
mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya …”
Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:
(4) Dari Aisyah, ia berkata:
“Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw.
mengelilingi kami semua – yakni istri-istrinya – lalu
beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah
jima’. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang
waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ.”
(5) Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au laamastum
an-nisa” (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan
dibawah jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”
(6) Dan dari Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu
termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah
karenanya.”7
Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab
Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita
yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan
syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka
menafsirkan firman Allah, “au laamastum an-nisa’” (atau kamu
menyentuh wanita).
Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya
melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal
“mulaamasah” atau “al-lams” dalam ayat tersebut dengan
semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti
berikut:
Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh
semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini
bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma’
sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan
qiyas bagi yang berpendapat begitu.
Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau
jika kamu menyentuh wanita …) itu dimaksudkan untuk
menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya -
seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya – maka sudah
dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan
bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i’tikaf: “…
Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang
i’tikaf dalam masjid…” (al-Baqarah: 187)
Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i’tikaf dengan
tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan
memeluk yang disertai syahwat.
Demikian pula firman Allah: “Jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …”
(al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …”
(al-Baqarah: 236).
Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan
sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan
tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak
menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan
ulama.
Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa’
mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat,
maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur’an, bahkan
menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah
dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh)
yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah
dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat,
sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath’u (yang asal
artinya “menginjak”) yang diikuti dengan kata-kata laki-laki
dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah
al-wath’u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan
menginjak dengan kaki.”8
Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat
berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum
annisa’. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa
yang dimaksud ialah jima’. dan mereka berkata, “Allah itu
Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu
sesuai dengan yang Ia kehendaki.”
Beliau berkata, “Ini yang lebih tepat diantara kedua
pendapat tersebut.”
Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna
kata al-lams, apakah ia berarti jima’ atau tindakan dibawah
jima’. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima’.
Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan)
berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima’
(pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan
kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab
dan menyalahkan Mawali.9
Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa
kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam
konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan
semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud
ialah mungkin jima’ (hubungan seks) atau pendahuluannya
seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan
sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.
Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah
saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa
semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan
perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan
terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya
perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri
teladan yang baik bagimu…” (al-Ahzab: 21)
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada “Kitab
al-Adab” dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak
penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu
membawanya pergi ke mana ia suka.”
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak
penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah
saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari
tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka.”
Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:
“Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah
kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini
meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena
disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya
budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum
dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan), yakni budak
perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa’at
(kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan
ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu
menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si
budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia
meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya
itu niscaya beliau akan membantunya.
Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya
Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap
sombong.”10
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar
dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang
tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang
berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima,
karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang
dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan
itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil
atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang
mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan
riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak
melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa
beliau pergi kemana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas
bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk
memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar
dari makna lahir ini.
Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan
dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas “bahwa Nabi
saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu
Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur
di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di
pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala
beliau dari kutu …”
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits
ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain
(yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti
dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita
asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan
makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.
Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya
dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini
menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil
Barr berkata, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui
Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu
Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan “sebagai ibu
susuan” atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu,
beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah
apa yang layak dilakukan oleh mahram.”
Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan
sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai
hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara
ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari
Bani Najjar …
Yang lain lagi berkata, “Nabi saw. itu maksum (terpelihara
dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan
hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap
wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan
daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan
perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan
beliau.”
Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan
argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan
dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya
kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada
dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau
dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang
menunjukkan kekhususannya.
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras
lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama,
yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara
Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:
“Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah
seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab.
Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak
ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita
Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin
Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin
an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin
Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu
Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin
Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan
bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini
adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap
Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani
Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan
saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”
Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, “Apabila sudah tetap
yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang
menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat
wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu
Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau
menjawab, ‘Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam
peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin Milhan, yang
terbunuh pada waktu peperangan Bi’r Ma’unah.”
Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu
Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram
tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup
didalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah
saudara mereka berdua. Maka ‘illat (hukumnya) adalah sama
diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.
Dan ditambahkan pula kepada ‘illat tersebut bahwa Ummu
Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah
berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani,
serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang
terjadi diantara orang-orang luar.
Kemudian ad-Dimyati berkata, “Tetapi hadits itu tidak
menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu
Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak,
pembantu, suami, atau pendamping.”
Ibnu Hajar berkata, “Ini merupakan kemungkinan yang kuat,
tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari
asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam
membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan.”
Al-Hafizh berkata, “Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini
ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini
tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan
kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah
jelas.”11
Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar
ataukah jelas?
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang
mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan
kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang
menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi
antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta
aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak
mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan
ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan
jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat
wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak
perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu
maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya,
lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya
tekankan:
Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai
dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan
terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat
dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa
lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak
diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu
tiadanya syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan
tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti
bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya,
mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi
seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun
haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan
saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas,
yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi
hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik
hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu
kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan
meneladani Nabi saw. – tidak ada riwayat kuat yang
menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan
wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan
yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah -
yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat
tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat
tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang
yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya,
dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah
mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk
berijtihad.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
2 Ibid., 4: 156-157
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan
kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan
pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki
dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si
Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur’an dan
Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam “Kitab Tafsir Surat
al-Mumtahanah, ” Bab “Idzaa Jaa’aka al-Mu’minaatu
Muhaajiraat. ”
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: “Perawi-perawi
Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang
sahih.”
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat
asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam
sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang
kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat
sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh
dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia
menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang
artinya), “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
dosa perbuatan-perbuatan yang buruk…” (Hud: 114) (HR
Muslim dengan lafal ini dalam “Kitab at-Taubah,” nomor 40)
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
8 Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid
21, hlm. 223-224.
9 Ibid.
10 Fathul Bari, juz 13.
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan
redaksional

dicopas dari: http://manbaul-huda.com/?p=93#more-93
Catatan:
yg digaris bawahi adalah "
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah -
yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat
tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat
tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang
yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya,
dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah
mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk
berijtihad." (tentunya hal ini jelas bukan menafikkan pihak yang berhati-hati untuk sama sekali mengharamkan bersalaman dengan lain jenis)

Khazanah 3: Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam

A. Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam
Pengembangan pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan berdasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakekat pandangan keagamaan – posisi Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam — sangat signfikan untuk menentukan cara kerja epistimologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan.

Posisi Islam dan pemikiran Islam. Membedakan antara Islam dan pemikiran Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah (al-nushushu al-mutanahiyah) melalui tindakan pengubahan baik penambahan dan pengurangan atau bahkan pengapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam (obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia. Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah secara jelas menyakatan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk muslim atau bukan (freedom of religion; qs. Al-Baqarah 256; Al-Kafirun 1-6). Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian unat muslim yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waqai’ ghairu mutanahiyah).

Dengan meletakkan Islam dalam tajdid wa al-iftikar, setiap muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secvara langsung ataupun tidak. Tajdid wa al-iftikar merupakan program pembaharuan terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi motivitas dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam kontek sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin; sebuah proses menafsurkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat muslim (insider) maupun non muslim (outsider).

Sumber pemikiran Islam. Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Sumber pemikiran Islam adalah wahyu, akal, ilham atau intusi dan realitas.

Fungsi Pemikiran Islam. Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan persoalan-persoalan praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan persoalan-persoalan moralitas publik (public morality). Dalam wilayah kesalehan individual, pemikiran Islam berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance), ibadah mahdlan dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality). Sedangkan dalam wilayah kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society, kekerasan sosial dan agama, geneder, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan terapannya dalam praksis sosial.

Metodologi Pemikiran Islam. Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbary dan kebenaran nazary. Yang pertama adalam kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah swt.. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta’aquly. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau wahyu yang diintepretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada rentang waktu –dulu, kini, mendatang — di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah yang disebut dengan lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (al-nushushu al-mutanahiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubaan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam kontek yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, muslim tidak perlu mengulang-ngulang tradisi lama (turath) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadathah). Kewajiban muslim adalah melalukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif (al-qira’ah al-muntijah, bukan al-qira’ah al-mutakarrirah).

Dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan, kontinuitas dan perubahan (al-istimrar wa al-istihalah) dalam realitas kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan paradigma tidak berarti semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut dipahami sebagai upaya modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma mengandaikan metodologi –pendekatan dan metode– baru untuk merespon problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muhafazatu ala al-qadim al-salih ma’a al-akhdh wa al-ijad bi al-jadid al-aslah.

Dengan rekayasa epistemologis semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain : produktif atau bukan sekedar pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksible dalam arti pemikiran Islam termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horison pemahaman dan pendalaman baru melalui istkhsaf; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah baru (yang selama ini “tak terpikirkan” dan “belum terpikirkan”) untuk dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris.


B. Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam
Manhaj peengembangan pemikiran Islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu :
  1. Prinsip al-mura’ah (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian (purification) ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
  2. Prinsip al-tahdithi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.
  3. Prinsip al-ibtikari (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstraktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).
C. Kerangka Merodologi Pengembangan Pemikiran Islam
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diprlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayani, irfani dan burhani, sesuai dengan obyek kajiannya –apakah teks, ilham atau realitas– berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek tranhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.

1. Pendekatan Bayani
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha’, mutakallimun dan ushulliyun.Bayani adalah pendekatan untuk : a) memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau diendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan ‘ibarah yang zahir pula; dan b)istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur’an khususnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafadl. Hubungan antara makna dan lafadz dapat dilihat dari segi : a)makna wad’i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, ‘am dan mustarak; b) makna isti’mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqah (sarihah dan mukniyah) dan makna majaz (sarih dan kinayah); c) darajat al-wudhuh, sifat dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan d) turuqu al-dalalah, penunjukan lafz terhadap makna, meliputi dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nass dan dalalah al-iqtida’ (menurut khanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut syafi’iyyah).
Untuk itu pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kuncu (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl – far’ – lafz ma’na (mantuq al-fughah dan mushkilah al-dalalah; dan nizam al-kitab dan nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-qiyas al-bayani, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam : 1)al-qiyas berdasarkan ukuran kepantasan antara asl dan far’ bagi hukum tertentu; yang meliputi al-qiyas al-jali; b) al-qiyas fi ma’na al-nass; dan c) al-qiyas al-khafi; 2)al-qiyas berdasarkan ‘illat terbagi menajdi : a)qiyas al-’illat dan b) qiyas al-dalalah; dan 3) al-qiyas al-jama’i terhadap asl dan far’.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan : 1) Bayan al-i’tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq; 2) Bayan al-i’tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil; 3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan 4) bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib ‘aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi.

2. Pendekatan Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum – hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz’iy, jauhar-’arad, ma’qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inserawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilmu al-mantiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang menyamaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adhhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a’yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhath al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mabhath al-qiyas). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidlal.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani. Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-’arady, wujud al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw’), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa’il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi’ah, mengakaji masalah : 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada lam semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi’ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah )berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pad manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-’ulum al-ijtima’iyyah) dan humaniora (humanities, al-’ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, keiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan kan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar pembahuruan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam burhani, keempat pendekatan — tarikhiyyah, sosiulujiyyah, thaqafiyyah dan antrufulujiyyah — berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling membentuk jaringan keilmuan.

3. Pendekatan ‘Irfani
‘Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : ‘ilmu atau ma’rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-’irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan ‘arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan ‘ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma’rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur’an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma’rifah ‘irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan mmenemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari’ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘irfani meliputi tanzil-ta’wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut’aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan ‘irfani banyak dimanfaatkan dalam ta’wil. Ta’wil ‘irfani terhadap Al-Qur’an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur’an merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan ‘irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba’ al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.

Catatan penting: 
metode  hermeneutic oleh saya dipahami sebagai suatu metode yang dimunculkan oleh para orientalis dan banyak dikampanyekan oleh kalangan liberal dan dikritisi oleh ulama yang berpendapat lain. Dalam artikel di atas hermeneutic diartikan al-qira’ah al-muntijah, bukan al-qira’ah al-mutakarrirah dan termasuk dalam metode yang "sah" untuk digunakan. Sebagai orang yang awam dalam hal ini, khusus masalah hermeneutik ini akan ditanyakan/dikonsultasikan dengan ulama yang mumpuni dalam bidangnya, insya allah jika sudah ada jawaban akan dimuat dalam blog ini.